PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 28 TAHUN 1977

TENTANG

PERWAKAFAN TANAH MILIK

(LNRI. No. 38, 1977; TLNRI No. 3107)

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang:

 

a. bahwa wakaf adalah suatu lembaga keagamaan yang dapat dipergunakan sebagai salah satu sarana guna pengembangan kehidupan keagamaan, khususnya bagi umat yang beragama Islam, dalam rangka mencapai kesejahteraan spirituil dan materiil menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila;

b. bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini yang mengatur tentang perwakafan tanah milik, selain belum memenuhi kebutuhan akan cara-cara perwakafan, juga membuka kemungkinan timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan disebabkan tidak adanya data-data yang nyata dan lengkap mengenai tanah-tanah yang diwakafkan;

c. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf b dan Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, maka dipandang perlu untuk mengatur tatacara dan pendaftaran perwakafan tanah milik dengan Peraturan Pemerintah;

 

Mengingat:

 

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara;

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 28; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2171);

 

MEMUTUSKAN:

 

Menetapkan:

 

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERWAKAFAN TANAH MILIK.

 

BAB 1

KETENTUAN UMUM

 

Pasal 1

 

Yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini dengan:

 

(1) Wakaf adalah Perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.

(2) Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan tanah miliknya.

(3) Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah miliknya.

(4) Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.

 

 

BAB II

FUNGSI WAKAF

Bagian Pertama

 

Pasal 2

 

Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf.

 

 

Bagian Kedua

Unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf

 

Pasal 3

 

(1) Badan-badan hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dan tanpa paksaan dari pihak lain, dapat mewakafkan tanah miliknya dengan memperhatikan peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak atas namanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum.

 

 

Pasal 4

 

Tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, harus merupakan tanah hak milik atau tanah milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan perkara.

 

 

Pasal 5

 

(1) Pihak yang mewakafkan tanahnya harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud pasal 9 ayat (2) yang kemudian menuangkannya dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf, dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

(2) Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dari ketentuan dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama.

 

 

Pasal 6

 

(1) Nadzir sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) pasal 1 yang terdiri dari perorangan harus memenuhi syarat-syarat berikut:

a. warganegara Republik Indonesia;

b. beragama Islam;

c. sudah dewasa;

d. sehat jasmaniah dan rohaniah;

e. tidak berada di bawah pengampuan.

f. bertempat tinggal di Kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan.

(2) Jika berbentuk badan hukum, maka Nadzir harus memenuhi persyaratan berikut:

a. badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

b. mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan.

(3) Nadzir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat untuk mendapatkan pengesahan.

(4) Jumlah Nadzir yang diperbolehkan untuk sesuatu daerah seperti dimaksud dalam ayat (3), ditetapkan oleh Menteri Agama berdasarkan kebutuhan.

 

 

Bagian Ketiga

Kewajiban dan Hak-hak Nadzir

 

Pasal 7

 

(1) Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan mengawasi kekayaan wakaf serta hasilnya menurut ketentuan-ketentuan yang diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama sesuai dengan tujuan wakaf.

(2) Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menyangkut kekayaan wakaf sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(3) Tatacara pembuatan laporan seperti dimaksud dalam ayat (2), diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama.

 

 

Pasal 8

 

Nadzir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang besarnya dan macamnya ditentukan lebih lanjut oleh Menteri Agama.

 

 

BAB III

TATACARA MEWAKAFKAN DAN PENDAFTARANNYA

Bagian Pertama

Tatacara perwakafan tanah milik

 

Pasal 9

 

(1) Pihak yang hendak mewakafkan tanahnya diharuskan datang di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan Ikrar Wakaf.

(2) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama.

(3) lsi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.

(4) Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap sah, jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

(5) Dalam melaksanakan ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang mewakafkan tanah diharuskan membawa serta dan menyerahkan kepada Pejabat tersebut dalam ayat (2) surat-surat berikut:

a. sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya;

b. surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut sesuatu sengketa;

c. surat keterangan Pendaftaran tanah;

d. izin dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria Setempat

 

 

Bagian Kedua

Pendaftaran wakaf tanah milik

 

Pasal 10

 

(1) Setelah kata Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan ayat (4) dan (5) pasal 9, maka Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf atas nama Nadzir yang bersangkutan, diharuskan mengajukan permohonan kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat untuk mendaftar perwakafan tanah milik yang bersangkutan menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.

(2) Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat, setelah menerima permohonan tersebut dalam ayat (1) mencatat perwakafan tanah milik yang bersangkutan pada buku tanah dan sertifikatnya.

(3) Jika tanah milik yang diwakafkan belum mempunyai sertifikat maka pencatatan yang dimaksud dalam ayat (2) dilakukan setelah untuk tanah tersebut dibuatkan sertifikatnya.

(4) Oleh Menteri Dalam Negeri diatur tatacara pencatatan perwakafan yang dimaksud dalam ayat (2) dan (3).

(5) Setelah dilakukan pencatatan perwakafan tanah milik dalam buku tanah dan sertifikatnya seperti dimaksud ayat -(2) dan (3), maka Nadzir yang bersangkutan wajib melaporkannya kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama.

 

 

BAB IV

PERUBAHAN, PENYELESAIAN PERSELISIHAN DAN PENGAWASAN PERWAKAFAN TANAH MILIK

Bagian Pertama

Perubahan perwakafan tanah milik

 

Pasal 11

 

(1) Pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan peruntukan atau penggunaan lain daripada yang dimaksud dalam Ikrar Wakaf.

(2) Penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Agama, yakni:

a. karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif.

b. karena kepentingan umum.

(3) Perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan penggunaannya sebagai akibat ketentuan tersebut dalam ayat (2) harus dilaporkan oleh Nadzir kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat untuk mendapatkan penyelesaian lebih lanjut.

 

 

Bagian kedua

Penyelesaian Perselisihan Perwakafan

Tanah Milik

 

Pasal 12

 

Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan perwakafan tanah, disalurkan melalui Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

 

Bagian Ketiga

Pengawasan Perwakafan Tanah Milik

 

Pasal 13

 

Pengawasan perwakafan tanah milik dan tatacaranya di berbagai tingkat wilayah ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Agama.

 

 

BAB V

KETENTUAN PIDANA

 

Pasal 14

 

Barangsiapa melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 5, pasal 6 ayat (3), pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), pasal 9, pasal 10 dan pasal 11, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah).

 

 

Pasal 15

 

Apabila perbuatan yang dimaksud dalam pasal 14 dilakukan oleh atau atas nama badan hukum maka tuntutan pidana dilakukan dan pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum maupun terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin atau penanggung jawab dalam perbuatan atau kelalaian itu atau terhadap kedua-duanya.

 

 

BAB VI

KETENTUAN PERALIHAN

 

Pasal 16

 

(1) Perwakafan tanah milik demikian pula pengurusannya yang terjadi sebelum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini, oleh Nadzir yang bersangkutan harus didaftarkan kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat, untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

(2) Cara-cara dan pelaksanaan ketentuan tersebut dalam ayat (1) ditentukan lebih lanjut oleh Menteri Agama.

 

 

Pasal 17

 

(1) Peraturan dan atau ketentuan-ketentuan tentang perwakafan tanah milik sebagaimana tercantum dalam Bijblad-Bijblad Nomor 6196 Tahun 1905, Nomor 12573 Tahun 1931, Nomor 13390 Tahun 1934, dan Nomor 13480 Tahun 1935 beserta ketentuan pelaksanaannya sepanjang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku lagi.

(2) Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah ini diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri sesuai dengan bidangnya masing-masing.

 

 

BAB VII

KETENTUAN PENUTUP

 

Pasal 18

 

Peraturan Pemerintah ini mulai berlalu pada tanggal diundangkan.

 

Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 17 Mei 1977

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA,

 

SUDHARMONO, SH.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 17 Mei 1977

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

SOEHARTO

 

 

 

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 28 TAHUN 1977

TENTANG

PERWAKAFAN TANAH MILIK

 

 

1. UMUM

 

Salah satu masalah di bidang keagamaan yang menyangkut pelaksanaan tugas-tugas keagrariaan adalah perwakafan tanah milik. Begitu pentingnya masalah perwakafan tanah milik tersebut ditinjau dari sudut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, sehingga perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

Pada waktu yang lampau, pengaturan tentang perwakafan tanah milik ini tidak diatur secara tuntas dalam bentuk suatu peraturan perundang-undangan, sehingga memudahkan terjadinya penyimpangan dari hakekat dan tujuan wakaf itu sendiri, terutama sekali disebabkan terdapatnya beraneka ragam bentuk perwakafan (wakaf keluarga, wakaf umum dan lain-lain), dan tidak adanya keharusan untuk didaftarkannya benda-benda yang diwakafkan, sehingga banyaklah benda-benda wakaf yang tidak diketahui lagi keadaannya.

Malahan dapat terjadi, benda-benda yang diwakafkan itu seolah-olah sudah menjadi milik dari ahli waris pengurus (nadzir).

 

Kejadian-kejadian tersebut di atas menimbulkan keresahan di kalangan umat beragama, khususnya mereka yang menganut agama Islam, dan menjurus ke arah antipati. Di lain pihak banyak terdapat persengketaan-persengketaan tanah disebabkan tidak jelasnya status tanahnya, sehingga apabila tidak segera diadakan pengaturan, maka tidak saja akan mengurangi kesadaran beragama dari mereka yang menganut agama Islam, bahkan lebih jauh akan menghambat usaha-usaha Pemerintah untuk menggalakkan semangat dan bimbingan kewajiban ke arah beragama, sebagaimana terkandung dalam ajaran Pancasila dan digariskan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973.

 

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang diatur hanyalah wakaf sosial (untuk umum) atas tanah milik. Bentuk-bentuk perwakafan lainnya seperti perwakafan keluarga tidak termasuk yang dimaksud da/am Peraturan Pemerintah ini. Pembatasan ini perlu diadakan untuk menghindari kekaburan masalah perwakafan. Demikian pula mengenai bendanya dibatasi hanya kepada tanah milik. Hal ini juga dimaksudkan untuk menghindari kekacauan di kemudian hari.

 

Dalam Undang-undang Pokok Agraria hanya hak milik yang mempunyai sifat yang penuh dan bulat, sedangkan hak-hak atas tanah lainnya seperti hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hanyalah mempunyai jangka waktu yang terbatas, sehingga oleh karenanya pemegang hak-hak tersebut tidak mempunyai hak dan kewenangan seperti halnya pemegang hak milik.

 

Berhubung dengan masalah perwakafan tersebut bersifat untuk selama-lamanya (abadi), maka hak atas tanah yang jangka waktunya terbatas tidak dapat diwakafkan.

 

Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini diatur juga mengenal kepengurusan dari wakif (nadzir), tatacara perwakafan, tatacara pemberian hak dan tatacara untuk mendapatkan kepastian hak atas tanah yang diwakafkan.

 

II. PASAL DEMI PASAL

 

Pasal 1

Ayat (1) sampai dengan ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan kelompok orang dalam ayat ini lalah kelompok orang yang merupakan satu kesatuan atau merupakan suatu pengurus.

 

 

Pasal 2

Cukup jelas.

 

 

Pasal 3

Dalam pasal ini dijelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seseorang yang mewakafkan.

Pencantuman secara terperinci syarat-syarat ini dimaksudkan untuk menghindari tidak sahnya perbuatan mewakafkan, baik karena adanya faktor intern (cacat atau kurang sempurna cara berfikir) maupun faktor ekstern karena merasa dipaksa orang lain.

Ketentuan-ketentuan ini berlaku juga bagi badan hukum dan yayasan Indonesia yang bergerak di bidang keagamaan dengan penyesuaian persyaratan seperlunya sesuai dengan persyaratan subyek hukum tersebut menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

 

Pasal 4

Sebagaimana telah dikemukakan, perbuatan mewakafkan adalah suatu perbuatan yang suci, mulia, dan terpuji sesuai dengan ajaran agama Islam. Berhubung dengan itu, maka tanah-tanah yang hendak diwakafkan itu betul-betul merupakan milik bersih dan tidak ada cacatnya ditinjau dari sudut pemilikan. Selain daripada itu persyaratan Ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya atau terbawa-bawanya lembaga perwakafan ini untuk sering berhadapan dengan pengadilan yang dapat memerosotkan wibawa dan syariat agama Islam. Berdasarkan pandangan tersebut di atas, maka tanah yang mengandung pembebanan seperti hipotek, crediet verband, tanah dalam proses perkara dan sengketa, tidak dapat diwakafkan sebelum masalahnya diselesaikan terlebih dahulu.

 

 

Pasal 5

Cukup jelas.

 

 

Pasal 6

Dalam pasal ini diatur tentang persyaratan nadzir (pengurus) dari wakaf, sehingga pengurus baik yang terdiri dari kelompok orang-orang maupun suatu badan hukum dapat menjalankan fungsinya dengan baik.

Jumlah nadzir untuk suatu daerah perlu dibatasi dan didaftar dengan maksud untuk mengurangi benih-benih perselisihan disebabkan banyak orang yang mengurusi sesuatu hal atas benda yang sama. Pendaftaran dimaksudkan untuk menghindari perbuatan perwakafan yang menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan dan juga untuk memudahkan pengawasan.

 

 

Pasal 7

Dalam rangka memudahkan pengawasan perwakafan tanah, maka nadzir yang telah diangkat diharuskan memberikan laporan secara berkala terhadap keadaan perwakafan tanah yang diurusnya dan penggunaan dari hasil-hasil dari wakaf itu.

Pelaporan ini dimaksudkan juga untuk memudahkan pengawasan.

 

 

Pasal 8

Pasal ini memberikan dasar bagi penetapan suatu penghasilan dan pemberian fasilitas kepada nadzir. Dengan telah diberinya imbalan yang pantas terhadap kebutuhan nadzir ini, maka diharapkan dapat dihindari penyimpangan dari penggunaan wakaf.

 

 

Pasal 9

Pasal ini mengharuskan adanya perwakafan dilakukan secara tertulis, tidak cukup hanya dengan ikrar lisan saja. Tujuannya adalah untuk memperoleh bukti yang otentik yang dapat dipergunakan untuk berbagai persoalan seperti untuk bahan pendaftaran pada Kantor Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya dan untuk keperluan penyelesaian sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari tentang tanah yang diwakafkan. Untuk keperluan itu seseorang yang hendak mewakafkan tanah harus membawa serta tanda-tanda bukti pemilikan (sertifikat/kekitir tanah) dan surat-surat lain yang menjelaskan tidak adanya halangan untuk melakukan perwakafan atas tanah milik tersebut.

Untuk keperluan tersebut, maka diperlukan pejabat-pejabat yang khusus melaksanakan pembuatan aktanya. Demikian pula mengenai bentuk dan ist ikrar wakaf perlu diseragamkan.

 

 

Pasal 10

Salah satu hal yang selama ini belum pernah diatur dan dilaksanakan secara seksama adalah pendaftaran tanah-tanah yang diwakafkan menurut ketentuan-ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dan peraturan pelaksanaannya. Pendaftaran tanah perwakafan Ini sangat penting artinya baik ditinjau dari segi tertib hukum maupun dari segi administrasi penguasaan dan penggunaan tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan agraria.

Dengan telah didaftarkan dan dicatatnya wakaf tersebut dalam sertifikat tanah hak milik yang diwakafkan, maka tanah wakaf itu telah mempunyai alat pembuktian yang kuat.

 

 

Pasal 11

Pada waktu yang lampau, perubahan status tanah yang diwakafkan dapat dilakukan begitu saja oleh Nadzirnya tanpa alasan-alasan yang meyakinkan. Hal-hal yang demikian ini sudah barang tentu akan menimbulkan reaksi dalam masyarakat terutama dari mereka yang langsung berkepentingan dengan perwakafan tanah tersebut.

 

Dalam Peraturan Pemerintah ini diadakan pembatasan-pembatasan yang ketat dan di samping itu maksud perubahan status harus terlebih dahulu mendapat izin dari Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuknya. Dengan cara pembatasan-pembatasan yang demikian ini diharapkan dapat dihindarkan praktek-praktek yang merugikan perwakafan. Untuk kepentingan administrasi pertanahan, perubahan status wakaf diharuskan untuk didaftarkan pada pejabat yang berwenang. Penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam pasal 11 ayat (2) di samping terkena sanksi seperti dimaksud dalam pasal 15, juga perbuatan itu batal dengan sendirinya menurut hukum.

 

 

Pasal 12

Penyelesaian perselisihan yang dimaksud dalam pasal ini yang termasuk yurisdiksi Pengadilan Agama adalah masalah sah atau tidaknya perbuatan mewakafkan seperti dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini dan lain-lain masalah yang menyangkut masalah wakaf berdasarkan syariat Islam. Dengan demikian jelaslah bahwa masalah-masalah lainnya yang secara nyata menyangkut hukum perdata dan hukum pidana diselesaikan melalui hukum acara dalam Pengadilan Negeri.

 

 

Pasal 13

Pada umumnya perwakafan tanah terjadi di daerah-daerah tingkat kecamatan. Untuk memudahkan pengawasan diperlukan adanya administrasi yang tertib baik di tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi dan pusat.

Mengenai cara pengawasan menurut jalur timbal-balik akan ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Agama.

 

 

Pasal 14

Cukup jelas.

 

 

Pasal 15

Cukup jelas.

 

 

Pasal 16

Pasal ini merupakan pasal peralihan perwakafan tanah yang terjadi sebelum Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan.

Kewajiban menyesuaikan perwakafan yang telah ada dengan Peraturan Pemerintah ini yang harus dilakukan oleh nadzir yang bersangkutan tidak hanya cukup dengan mendaftarkan pada kantor Urusan Agama setempat, melainkan juga harus dengan menyelesaikan status tanah dan pendaftaran haknya melalui acara yang diperlukan pada perwakafan tanah milik seperti dimaksud dalam pasal 10.

Berhubung masalah penyesuaian perwakafan yang telah ada dengan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini diperlukan waktu dan kebijaksanaan khusus, maka tatacara, jangka waktu penyesuaian demikian pula kemungkinan perpanjangannya akan diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama.

 

 

Pasal 17

Cukup jelas.

 

 

Pasal 18

Cukup jelas.

 

 

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3107

 

Quelle: LN. No. 38, 1977; TLN No. 3107