MEMORI PENDJELASAN MENGENAI

UNDANG-UNDANG TENTANG

POKOK-POKOK PERATURAN PERNIKAHAN UMAT ISLAM

 

PENDJELASAN UMUM

 

    1. Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tgl. 5 Djuli 1959 menjatakan bahwa Piagam Djakarta tgl. 22 Djuni 1945 mendjiwai dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

 

    2. Hampir seluruh isi Piagam Djakarta tersebut telah masuk dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, ketjuali anak kalimat pada alinea empat sesudah kata: "Ke Tuhanan" jakni "dengan kewadjiban mendjalankan sjari‘at Islam bagi pemeluk-pemeluknja". Dengan adanja Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tersebut, maka sesudah kata "Ke Tuhanan Jang Maha Esa" dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 harus dianggap tertulis anak kalimat tersebut diatas. Djadi bunjinja lalu mendjadi: "Ke Tuhanan Jang Maha Esa, dengan kewadjiban mendjalankan sjari‘at Islam bagi pemeluk-pemeluknja".

 

    3. Djawaban tertulis dari Pemerintah kepada Anggauta Dewan Perwakilan Rakjat A. Sjaichu jang diadjukan pada sidang pleno Dewan Perwakilan Rakjat tanggal 3 dan 4 Maret 1959 berbunji sebagai berikut:

    "Pengakuan adanja Piagam Djakarta sebagai dokumen historis bagi Pemerintah berarti pengakuan pula akan pengaruhnja terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Djadi pengaruh termaksud tidak hanja mengenai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sadja, tetapi djuga mengenai pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, pasal mana selandjutnja harap mendjadi dasar kehidupan hukum dibidang keagamaan. Jaitu dengan demikian kepada perkataan "Ke Tuhanan", dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat diberikan arti "Ke Tuhanan, dengan kewadjiban bagi Umat Islam untuk mendjalankan sjari‘atnja", sehingga atas dasar itu dapat ditjiptakan perundang-undangan bagi para pemeluk agama Islam, jang dapat disesuaikan dengan sjari‘at Islam."

 

    4. Undang-Undang Tentang Pokok-Pokok Peraturan Pernikahan Umat Islam ini adalah hasil tjiptaan pertama sebagai pelaksanaan Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tersebut. Dan merupakan pelengkapan dari Undang-Undang no. 22 tahun 1946 jo No. 32 tahun 1954 jang hanja mengatur pengawasan dan pentjatatan nikah, talak dan rudjuk jang djuga perlu harus lekas ditindjau kembali berhubung dengan berlakunja Undang-Undang ini.

 

    5. Sebelum Undang-Undang ini berlaku, keadaan hukum perkawinan jang berlaku di Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut:

 

    a. bagi golongan Eropa berlaku Burgerlijk Wetboek (Stb. 1847:23) jang dilengkapi dengan Reglement Burgerlijke Standnja (Stb. 1849:25);

    b. Bagi golongan Timur Asing Tionghoa berlaku Stb. 1917:29 jis. 1919-81, 24:557, 25:92 jang dilengkapi dengan Reglement Burgerlijke Stand-nja (Stb. 1917:130 jo 19:81);

    c. Bagi golongan Timur Asing jang bukan Tionghoa, in analogium Stb. 1924:556, berlaku hukum adatnja sendiri;

    d. Bagi golongan Bumiputra (Indonesia asli) berlaku matjam-matjam aturan;

    (1) Bagi golongan Bumiputra (Indonesia asli) jang beragama Islam berlaku Undang-Undang No. 22 tahun 1946 jo 32 tahun 1954. Tetapi undang-undang ini hanja merudjuk dan tidak mengatur hukum pernikahan materiil; mengenai pengawasan dan pentjatatan nikah, talak dan rudjuk.

    (2) Bagi golongan Bumiputra Kristen di Djawa, Minahasa dan Ambon berlaku Stb. 1933:74 jo 36:607 jang dilengkapi dengan Reglement Burgerlijk Stand-nja Stb. 1933:75 jo 36:607;

    (3) Bagi sekelompok ketjil golongan Bumiputra jang mempunjai sjarat-sjarat tertentu berlaku Regelment Burgerlijke Stand Stb. 1920:75 jo 27:564. Inipun hanja sematjam pentjatatan sipil sadja;

    (4) Bagi golongan Bumiputera selain dari jang telah tersebut diatas berlaku hukum adatnja (I.S. pasal 131 ajat
          6).

    e. Bagi orang-orang Indonesia, tjalon suami isteri jang tunduk pada hukum jang berlainan disediakan Ordonansi tentang Perkawinan Tjampuran (Stb. 1898:158) jang dilengkapi dengan Burgerlijke Stand-nja (Stb. 1904-279).

 

    6. Sebelum undang-undang ini berlaku, hukum pernikahan bagi Umat Islam memang merupakan hukum tidak tertulis. Pernah Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1937 berusaha untuk membuat ordonansi perkawinan untuk golongan Bumiputera jang berazaskan monogami. Tetapi rentjana itu ditentang dan ditolak oleh masjarakat, sehingga rentjana ordonansi tersebut terpaksa dibatalkan.

 

    7. Pernikahan itu bersifat agamis (sacraal), mempunjai nilai jang tinggi dalam kehidupan serta tempat jang mulia dalam djiwa setiap orang Islam, sebagaimana hanja dengan kelahiran, pengchitanan dan kematian. Suatu perbuatan hukum dinamakan "akad nikah" jang dilakukan dibawah pengawasan Pegawai Pentjatat Nikah itu merupakan dasar jang kuat, dari sudut hukum, sosial, maupun dari sudut agama, untuk membina kehidupan suatu keluarga jang bahagia dan sentosa.

 

    8. Pernikahan itu terletak dalam lapangan hukum perdata, tetapi sangat erat hubungannja dengan agama dan adat kebiasaan. Dari itu dalam undang-undang tentang pokok-pokok peraturan pernikahan bagi Umat Islam ini, jang materinja diambil dari hukum Islam, adat kebiasaan jang sangat erat hubungannja dengan hukum pernikahan mendapat perhatian penuh, misalnja dalam bidang harta kekajaan pernikahan. Dan achirnja adat kebiasaan/hukum adat selalu dapat dilaksanakan sekedar tidak bertentangan atau dilarang oleh undang-undang ini.

 

    9. Jang dimaksud dengan pernikahan ialah akad nikah dan segala hal jang mendjadi akibat hukum dari akad nikah itu. Pengertian pernikahan adalah sama dengan perkawinan, hanja sadja istilah pernikahan dipakai chusus dalam suasana hukum Islam. Dalam undang-undang ini diatur djuga hal-hal jang sangat erat hubungannja dengan pernikahan, misalnja talak, rudjuk, iddah dan lain-lainnja.

 

    10. Sumber dari materi undang-undang tentang pokok-pokok Peraturan Pernikahan Umat Islam ini, ialah Qurän, Hadits, Idjma‘ dan Qias jang djuga mendjadi sumber segala segi kehidupan manusia didunia dan achirat. Sangat erat hubungannja dengan hukum pernikahan dan masih dalam bidang hukum keluarga ialah kedudukan anak, kekuasaan orang tua, belum tjukup umur, pewalian, pengampunan lain-lain. Sebaiknja ini semua djuga harus dibuku-tetapkan dengan selekas mungkin. Bidang lain jakni bidang hukum waris, perlu djuga segera mendapat perhatian.

 

    11. Untuk memenuhi tuntutan masjarakat jang sangat mendesak agar segera dibentuk peraturan perundangan jang mengatur pernikahan, maka adanja undang-undang ini dimaksud untuk menghimpun pokok-pokok peraturan pernikahan jang dibitjarakan dan dibahas setjara luas dan mendalam didalam kitab-kitab Fiqh jang merupakan pegangan dan pedoman jang ditaati oleh Umat Islam Indonesia dengan patuh dan jang sudah disesuaikan dengan keadaan dan kehendak masjarakat jang akan melakukan peraturan ini.

 

    Dikatakan diatas bahwa peraturan ini hanja mengandung pokok-pokok peraturan pernikahan Umat Islam, karena untuk menjusun suatu peraturan pernikahan jang lengkap dan sempurna seperti apa jang tertulis dalam bermatjam-matjam kitab Fiqh itu membutuhkan waktu jang lama sekali dan undang-undang ini akan mendjadi peraturan jang pandjang sekali. Dari sistim dalam undang-undang ini tampak bahwa peraturan-peraturan jang tidak merupakan peraturan pokok dan jang merupakan hal-hal jang sangat terperintji, penemuannja diserahkan kepada pegawai jang ahli dalam soal itu, jakni Pegawai Pentjatat Nikah dan Hakim-hakim Pengadilan Agama. Mereka mengenai hal-hal ketjil tersebut diatas sudah hafal atau dapat menemukan dalam beberapa kitab Fiqh jang tersedia dan mengenai hal-hal jang chusus mereka dapat mengadakan perbandingan/qias. Hal inilah jang banjak diharapkan terlaksananja agar hukum Islam dapat berkembang setjara sehat sesuai dengan keadaan dan kehendak masjarakat jang melakukannja. Perkembangan hukum Islam dengan melalui djalan ini perlu dibahas dan ditjatat baik-baik untuk kepentingan perkembangan jang sehat dari hukum Islam.

     

    12. Undang-Undang ini berlaku bagi semua warga-negara Indonesia jang beragama Islam, ketjuali bila bagi mereka itu berlaku ketentuan-ketentuan lain atas dasar undang-undang lain pula. Meskipun begitu undang-undang ini memberikan kesempatan kepada mereka jang terachir ini untuk menundukkan diri pada undang-undang ini dengan melalui peraturan peralihan, ja‘ni pasal 70. Bagi warga negara Indonesia umat Islam jang berada diluar Indonesia, Undang-Undang ini berlaku djuga bagi mereka, berdasarkan pasai 16 Algemene Bepalingen van Wetegeving voor Indonesia (A.B.). Dari itu bagi mereka baik kiranja diberi kesempatan agar mereka dapat melakukan pernikahan ditempat mereka tinggal, tanpa lebih dulu pulang ke Indonesia. Pasal 22 dari undang-undang ini merupakan reference rule untuk keperluan tersebut. Untuk ini perlu dibentuk undang-undang tersendiri. Sudah tentu bahwa undang-undang ini hanja akan merupakan pernjataan berlaku (toepasselijk verklaring) dari pada Undang-Undang Pengawasan dan pentjatatan Nikah, Talak dan Rudjuk jang berlaku di Indonesia untuk diluar Indonesia.

 

    13. Undang-Undang ini adalah complement dari Undang-Undang No. 22 tahun 1946 jo No. 32 tahun 1954 jang berarti bahwa Undang-Undang ini melengkapi Undang-Undang No. 22 tahun 1946 tersebut. Akibatnja bila Undang-Undang ini telah berlaku, maka Undang-Undang No. 22 tahun 1946 jo No. 32 tahun 1954 harus dirubah disesuaikan dengan Undang-Undang ini.

 

    14. Kedudukan P.P.N., P.P.P.N.T.R. dan P.A.

 

    a. Pegawai Pentjatat Nikah, Talak dan Rudjuk (P.P.N.) dalam Undang-Undang ini adalah "Openbaar Ambtenaar" jang dapat mengeluarkan akta otentik jang berupa surat nikah, talak/chulu‘ dan rudjuk. Tetapi Pembantu Pegawai Pentjatat Nikah, Talak dan Rudjuk (P.P.P.N.T.R.) jang adanja hanja diluar Djawa dan Madura tidak mempunjai hak untuk mengeluarkan akta otentik tersebut.

 

    b. Pengadilan Agama (P.A.) dalam Undang-Undang ini diberi tugas untuk menjelesaikan perkara-perkara jang timbul dari adanja undang-undang ini. Agar semua keputusan P.A. itu selalu dapat diikuti oleh P.P.N. sebagai "Openbaar Ambtenaar", maka dalam undang-undang ini ditentukan bahwa kutipan dari tiap-tiap keputusan P.A. harus dikirim kepada P.P.N. jang bersangkutan untuk ditjatat seperlunja (pasal-pasal: 14 ajat 4, 21 ajat 4, 23 ajat 2, 40 ajat 6, 7, 71 dan 73).

 

    15. Kedudukan Direktorat Urusan Agama di Djakarta dan Pengadilan Agama Djakarta Raja.

 

    Direktorat Urusan Agama di Djakarta, disamping fungsi jang biasa sebagai Kantor Urusan Agama, dalam undang-undang ini ditetapkan sebagai Kantor Pusat Penampungan Pendaftaran nikah, talak/chulu‘ dan rudjuk jang dilakukan diluar Indonesia. P.P.N. jang ada diluar Indonesia akan diwadjibkan mengirimkan tembusan tiap-tiap akta nikah, talak/chulu‘ dan rudjuk jang dikeluarkannja bersama-sama laporannja kepada Direktorat Urusan Agama di Djakarta. Begitu djuga pembatalan-pembatalannja jang diadakan di Indonesia mengenai nikah, talak/chulu‘ dan rudjuk dan perdjandjian-perdjandjian pernikahan jang dilangsungkan/dibuat diluar Indonesia, harus djuga didaftarkan pada Direktorat Urusan Agama tersebut. Hal ini perlu untuk kepentingan kelantjaran administrasi (pasal 20, 21).

     

    Pengadilan Agama Djakarta Raja disamping tugasnja sehari-hari dalam undang-undang ini diberi tugas tambahan jakni untuk memeriksa dan memutuskan kebatalan nikah, talak /chulu‘ dan rudjuk jang dilangsungkan diluar Indonesia (pasal 21 ajat 2).

 

    16. Bukti Nikah, Talak dan Rudjuk seperti tersebut pada pasal 23 undang-undang ini merupakan alat pembuktian sempurna (authentiek) dan merupakan alat-alat pembuktian jang harus didjaga kemurnian nilainja.

 

    17. Peraturan ini mulai dihimpun pada achir tahun 1950 oleh sebuah Panitya jang dinamakan Panitya Penjelidik Peraturan/dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rudjuk, jang diketahui oleh Sdr. Mr. Tk. Moh. Hasan.

 

    Adapun susunan Panitya tersebut menurut Peraturan Menteri Agama No. B.2/4299 tgl. 1 Oktober 1950 adalah sebagai berikut:

       

      (1). Mr. Tk. Moh. Hasan

      - sebagai anggauta, merangkap Ketua

      (2). K. H. Agus Salim- sebagai anggauta
      (3). K.H.M. Adnan- idem,
      (4). Mr. Dr. Kusumah Atmadja- idem,
      (5). K.H. Djohar (Solo)- idem,
      (6). Mr. Jusuf Wibisono- idem,
      (7). K.H.M. Musta‘in- idem,
      (8). Z.A. Achmad- idem,
      (9). Prawoto Mangkusasmito- idem,
      (10). Nj. Mr. Maria Ulfah Santoso- idem,
      (11). Nj. Dr. Abuhanifah- idem,
      (12). Nj. Mr. Nany Suwono- idem,
      (13). Nj. Arudji Kartawinata- idem,
      (14). Nj. Kartowijono- idem,
      (15). Nj. Mahmudah Mawardi- idem

 

    Dengan surat Keputusan Menteri Agama No. B/2/I/8315 tgl. 1 April 1951, susunan anggauta Panitya tersebut diatas dirubah dan/atau ditambah, jakni:

    (1). Mr. Jusuf Wibisono,

    (2). Prawoto Mangkusasmito, dan

    (3). Nj. Dr. Abuhanifah

     

    diganti/ditambah dengan:

    (1). Mr. Sudjono Hardjosudiro,

    (2). Nj. Zainab Damiry,

    (3). Mr. Tuti Harab,

    (4). Nj. Sutandar,

    (5). Drs. M. K. Tjakraatmadja,

    (6). Nj. Badilah Zuber,

    (7). Kjai Tjik Wan.

     

    18. Pada achir tahun 1952 Panitya tersebut telah selesai dengan rentjana undang-undang perkawinan jang bersifat umum Karena undang-undang perkawinan ini senantiasa mendapat perhatian umum dan chususnja organisasi-organisasi wanita seluruh Indonesia, maka Panitya ini merasa perlu mendengar pendapat-pendapat umum dan organisasi wanita pada chususnja.

 

    Kesimpulannja ialah bahwa golongan-golongan agama tidak dapat menjambut baik adanja rentjana undang-undang perkawinan jang bersifat umum itu. Berhubung dengan itu maka Panitya menjusun undang-undang perkawinan jang bersifat chususnja jang akan terdiri dari:

 

    (1) Peraturan perkawinan menurut Agama Islam;

    (2) Peraturan perkawinan menurut Agama Kristen;

    (3) Peraturan Perkawinan menurut Agama Katolik;

    (4) Peraturan Perkawinan bagi mereka jang tidak termasuk dalam peraturan No. (1), (2), dan (3) tersebut.

 

    Pada achir bulan Maret 1954, Panitya selesai dengan Rentjana Undang-Undang tentang Pernikahan Umat Islam. Untuk kesempurnaannja Menteri Agama membentuk Panitya Kementerian Agama dan Panitya Ketjil (technis) untuk menindjau rentjana undang-undang pernikahan tersebut. Panitya selesai penindjauannja pada achir bulan Djanuari 1955. Rentjana undang-undang ini lalu dikirim kepada Kementerian Kehakiman untuk ditindjau dari sudut juridis.

 

    19. Rentjana undang-undang pernikahan tersebut karena kepergian Menteri Agama keluar Negeri dan perubahan-perubahan kabinet, maka baru pada tahun 1958 dapat diadjukan kepada Kabinet jang selandjutnja dengan surat Kabinet Presiden tgl. 19 Djuni 1958 No. 1621/H/K/58 rentjana undang-undang tersebut dilangsungkan kepada Dewan Perwakilan Rakjat sebagai usul inisiatip Pemerintah, jang hampir bersamaan datangnja dengan rentjana undang-undang perkawinan usul inisiatip Nj. Sumari cs.

 

    Kedua rantjangan undang-undang tersebut sama-sama mendapat pembahasan oleh Dewan Perwakilan Rakjat setjara berturut-turut dan telah selesai pula pandangan umum babak kedua, dimana Pemerintah dan pengusul inisiatip masih harus menjampaikan djawabannja masing-masing kepada sidang.

 

    Bersamaan dengan kesibukan Dewan Perwakilan Rakjat terhadap rentjana undang-undang perkawinan ini dalam sidang-sidang jang berturut-turut, diluar sidangpun oleh Menteri Agama, Panitya dan Pengusul inisiatip telah diadakan pertemuan-pertemuan dengan wakil-wakil Kongres Wanita Indonesia, organisasi dan fraksi Islam dalam Dewan Perwakilan Rakjat, Alim Ulama dan lain-lain golongan dalam masjarakat.

 

    20. Perubahan ketatanegaraan akibat Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tgl. 5 Djuli 1959 terdjadi. Kabinet Kerdja dibentuk. Menteri Agama setelah menindjau kembali rentjana Undang-Undang Perkawinan jang telah pernah dibitjarakan dalam Dewan Perwakilan Rakjat jang telah dibubarkan itu, mengadjukan kembali rentjana undang-undang tersebut kepada Kabinet dengan suratnja tgl. 4 Mei 1960, No. F/III/5661. Rentjana undang-undang tersebut diganti dengan Rentjana Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Pernikahan Umat Islam.

 

    21. Pada waktu rentjana Perpu tersebut dimusjawarahkan dalam sidang Kabinet Kerdja ke 33, jakni pada tgl. 18 Mei 1960, maka Kabinet membentuk Panitya ad hoc tingkat Menteri dengan tugas untuk merumuskan dan menampung saran-saran dari para Menteri jang diadjukan dalam sidang Kabinet ke 33 itu. Panitya tersebut terdiri dari:

 

    (1) J.M. Menteri Agama,

    (2) J.M. Menteri Kehakiman,

    (3) J.M. Menteri Penerangan,

    (4) J.M. Menteri Kesedjahteraan Rakjat,

    (5) J.M. Menteri Ketua Depernas jang kemudian diganti oleh J.M. Menteri Penasihat Hukum,

    (6) J.M. Menteri Penghubung Kabinet Ulama.

 

    22. Keadaan suasana kenegaraan pada umumnja sebagai akibat dari adanja Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang 5 Djuli 1959 adalah begitu mendesak, sehingga menjebabkan tugas Panitya ad hoc tingkat Menteri tersebut tidak dapat berdjalan lantjar. Untuk ini J.M. Menteri Agama mengambil kebidjaksanaan dengan membentuk sebuah Panitya technis jang dinamakan "Panitya Penjempurnaan rumusan Rentjana Perpu Pernikahan Umat Islam" dengan surat keputusan tgl. 18 Pebruari 1961 No. 16 jang diperbaiki dengan surat keputusan tgl. 4 April 1961 No. 38 jang susunannja sebagai berikut:

       

      (1) Mr. N. Purwosutjipto

      - anggauta merangkap Ketua,

      (2) Sidik Sudarsono- anggauta merangkap Penulis I.
      (3) Z.A. Nuch- anggauta merangkap Penulis II,
      (4) K.H. Moh. Sjukri- anggauta
      (5) K.H.A. Zabidi- anggauta
      (6) K.H. Moh. Sjakrir- anggauta

 

    Setelah Panitya ini bekerdja selama tiga bulan nonstop, maka selesailah tugas jang dibebankan diatas pundaknja. Hasilnja ialah Rentjana Undang-Undang Tentang Pokok-Pokok Peraturan Pernikahan Umat Islam ini.

 

PENDJELASAN PASAL DEMI PASAL

 

Pasal 1.

 

    (1) Pasal 1 ajat 1 merupakan batasan pengertian pernikahan jang berisi hakikat, sifat. dasar dan tudjuan pernikahan dalam suatu rangka jang luas.

 

    a. Hakikat pernikahan jalah ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan untuk memenuhi hadjat hidup bersama didunia..

    b. ikatan lahir mengenai hubungan hukum jang lalu menimbulkan akibat2 hukum misalnja pemberian nafkah, kiswah dan maskan. Sedangkan ikatan batin mengenai hubungan moril/kedjiwaan jang bernilai tinggi jang menguatkan hubungan hukum jang telah ada. Akibat - akibat jang bersifat moril/kedjiwaan ini dapat berdiri sendiri jang akibatnja sukar untuk diberi sanksi hukum misalnja norma jang tersebut pada pasal 24.

 

    Pernikahan mempunjai dua sifat, jalah keagamaan dan kemasjarakatan. Keagamaan oleh karena pernikahan itu diperintahkan oleh agama dengan norma-norma jang djelas dan tegas jang mendjadi dasar dari pernikahan itu. Kemasjarakatan, jalah untuk memenuhi tata-tertib kemasjarakatan dalam hal hubungan antara laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri. Tudjuan utama dari pernikahan jalah memenuhi hadjat djenisnja, hidup bersama dan mendirikan rumah tangga jang damai dgn teratur untuk memperoleh keturunan jang sah dalam masjarakat. Tudjuan ini memberikan tjorak jang tegas bahwa pernikahan itu mempunjai fungsi perseorangan dan fungsi kemasjarakatan.

 

    (2) Jang dimaksud dengan "penguasa jang diberi wewenang olehnja" pada ajat 2 dan 3, jalah "penguasa jang diberi wewenang oleh Menteri Agama untuk mengangkat Pegawai Pentjatat Nikah atau untuk mengangkat wali hakim".

 

Pasal 2.

    Tjukup djelas.

 

Pasal 3.

 

    Dalam hukum Islam, ketentuan tentang batas umur dinjatakan dengan "baligh", jakni umur 15 tahun bermimpi melihat air mani dengan atau tanpa mimpi atau disamping itu bagi seorang perempuan, jalah apabila telah mulai berhaidl. Akan tetapi berdasarkan pertimbangan dari kepastian hukum, maka perlu adanja pembatasan umur termaksud, dengan memberikan antjaman pidana terhadap pelanggaran atasnja (periksa pasal 62, 63 dan 65), sehingga diharapkan kelak pelaksanaan undang-undang ini dapat memberikan tuntunan jang positip kepada masjarakat dalam membina kesedjahteraan Negara dan Bangsa.

     

    Batas umur delapan belas tahun bagi laki-laki dan lima belas tahun bagi perempuan, adalah didasarkan pertimbangan bahwa pada umumnja orang Indonesia jang telah mentjapai usia termaksud telah dianggap tjakap berbuat.

     

    Oleh karena sampai sekarang "Tjatatan Sipil" belum berlaku seluruhnja di Indonesia, sehingga belum tentu ada pembuktian tentang setiap kelahiran, maka Pegawai Pentjatat Nikah dapat mempertimbangkan apakah tjalon suami dan isteri sudah dapat dianggap tjukup umur atau belum. Artinja apakah tjalon suami sudah dapat dianggap berumur delapan belas tahun dan tjalon isteri sudah dapat dianggap berumur lima belas tahun. Dalam pada itu dispensasi dapat diberikan dengan izin tertulis dari Kepala Kantor Urusan Agama Daerah Tingkat dua.

 

Pasal 4.

 

    Tidak ada seorangpun, baik laki-laki maupun perempuan jang dapat dipaksa melakukan suatu pernikahan. Kedua belah fihak harus saling menjetudjui untuk mendjadi suami isteri.

 

Pasal 5.

 

    Wali jalah orang jang berhak mengidjabkan suatu pernikahan. Adapun jang dapat mendjadi wali jalah berturut-turut sebagaimana jang telah djelas tersebut pada pasal 5 ajat 2. Di Indonesia sudah mendjadi kelaziman bahwa hak wali untuk mengidjabkan suatu pernikahan itu dikuasakan kepada Pegawai Pentjatat Nikah atau kepada orang lain jang dianggap lebih memberkahi pernikahan kedua mempelai.

     

    Dalam tingkatan pertama wali jalah orang tua kandung, jakni bapak atau kakek menurut keturunan lurus keatas. Kemudian saudaranja seibu seajah, sesudah itu saudara seajah dan selandjutnja sebagaimana tersebut pada ajat 2 menurut susunan huruf dan urutan dalam huruf itu.

 

Pasal 6 dan 7.

 

    Pasal ini mengatur perpindahan hak wali atas pernikahan seorang perempuan. Apabila tidak ada wali sama sekali, atau wali berhalangan untuk dapat bertindak sebagai wali disebabkan hal-hal jang tersebut dalam ajat 2 pasal 6, maka hak wali dapat dipindahkan kepada wali hakim, jang ditundjuk oleh Menteri Agama. Pelaksanaan pernikahan dengan wali hakim diatur oleh Menteri Agama.

     

    Dalam hal perkara permintaan seorang perempuan kepada wali hakim, disebabkan wali jang berhak enggan bertindak, maka undang-undang ini memberikan kemungkinan penjelesaian setjara damai, dengan menentukan agar pemeriksaan oleh wali hakim dilakukan dihadapan wali, bakal suami dan bakal isteri. Lagi pula memberikan kesempatan kepada fihak jang bersangkutan untuk mengemukakan keberatan-keberatannja atas keputusan wali hakim itu kepada Pengadilan Agama.

     

    Jang dimaksud "djauh" dalam pasal 7 ajat 2 jalah djarak sedjauh dua marhalah, jakni kurang lebih sembilan puluh dua kilometer.

     

    Sedangkan "wali adhal" jalah wali jang baik dengan terus terang maupun dengan dalih apapun djua menolak permintaan tjalon isteri untuk mendjadi wali dalam pernikahannja, ketjuali kalau penolakan wali itu berdasarkan alasan-alasan jang dibenarkan oleh hukum Islam.

 

Pasal 8.

    Tjukup djelas.

 

Pasal 9.

 

    Idjab, jalah pernjataan jang djelas dari seorang wali tjalon isteri, untuk menikahkan tjalon isteri kepada tjalon suami tertentu. Misalnja wali ajah (ajah) menjatakan demikian:

     

    "Saja nikahkan anak saja perempuan bernama Siti Mariam kepada engkau Sidiq, dengan maskawin sekian rupiah".

     

    Kabul, jalah pernjataan jang djelas dari tjalon suami tentang penerimaannja atas nikah jang telah dinjatakan oleh wali dalam idjab tersebut. Misalnja tjalon suami menjatakan demikian:

     

    "Saja terima nikahnja Siti Mariam untuk saja, dengan maskawin sekian rupiah".

 

    Pernjataan idjab wali harus segera disambung dengan pernjataan kabul tjalon suami, sehingga dua pernjataan tersebut seolah-olah merupakan suatu rangkaian pernjataan jang senafas.

 

Pasal 10.

 

    Mahar (maskawin) tidak berarti harga pembelian suatu barang, akan tetapi lebih bersifat hadiah. Oleh karena itu pemberian itu dapat berupa benda-benda atau djasa-djasa. Soal djumlah besar ketjilnja mahar tergantung dari kerelaan fihak isteri.

 

Pasal 11, 12 dan 13.

 

    Larangan-larangan pernikahan jang didasarkan atas pertalian nasab, pertalian semenda (mushaharah) dan pertalian susuan (radla‘), demikian pula jang didasarkan untuk mentjegah pertjampuran keturunan (pasal 12), pula larangan jang termaksud dalam pasal 13, adalah termasuk larangan jang berat oleh karenanja dalam undang-undang ini diberikan antjaman pidana jang berat (pasal 62, 63 dan 65).

 

Pasal 14.

 

    Pada waktu berlakunja undang-undang ini pengawasan dan pentjatatan nikah, talak dan rudjuk diatur dengan Undang-Undang No. 22 tahun 1946 jang dinjatakan berlaku untuk seluruh Indonesia dengan undang-undang No. 32 tahun 1954, dan jang dilengkapi dengan Peraturan Menteri No. 1 tahun 1955 serta Penetapan-Penetapan Menteri serta Instruksi-instruksi lainnja.

 

Pasal 15.

 

    Ta‘lik talak, jalah talak jang digantungkan pada sjarat-sjarat tertentu jang djatuh apabila sjarat jang tertentu itu telah ada.

     

    Pada waku sekarang ini ta‘lik talak diatur dengan Penetapan Menteri Agama No. 14 tahun 1955 jang bunjinja sebagai berikut:

    Sewaktu-waktu saja:

    (1). meninggalkan isteri saja tersebut enam bulan berturut-turut;

    (2). atau saja tidak memberi nafkah wadjib kepadanja tiga bulan lamanja;

    (3). atau saja menjakiti badan/djasmani isteri saja itu;

    (4). atau saja membiarkan (tidak memperdulikan) isteri saja itu enam bulan lamanja;

     

    Kemudian isteri saja tidak redla dan mengadukan halnja kepada Pengadilan Agama atau petugas jang diberi hak mengurus pengaduan itu, dan pengaduannja dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan atau petugas tersebut, dan isteri saja itu membajar uang sebesar Rp. 2,50 sebagai iwadl (pengganti) kepada saja, maka djatuhlah talak saja satu kepadanja.

     

    Jang dimaksud "perdjandjian pernikahan lainnja" tersebut pada pasal 15 ajat 2 huruf b jalah perdjandjian pernikahan selain jang tersebut pada pasal-pasal 16, 20 dan 36.

     

    Pasal 16, 17, 18, 19 dan 20.

 

    Hukum Islam memperkenankan seorang laki-laki untuk beristeri lebih dari seorang isteri, akan tetapi pada hakikatnja hukum Islam djuga meletakkan beban dan sjarat-sjarat jang berat bagi fihak laki-laki jang bersangkutan. Untuk mentjegah agar seorang laki-laki djangan bertindak sewenang-wenang dan agar mengindahkan kebutuhan dan kebahagian isteri serta rumah tangga, maka undang-undang ini memberikan ketentuan-ketentuan agar hal itu tidak disalah gunakan oleh laki-laki jang bersangkutan.

     

    Oleh karena suatu pernikahan adalah merupakan ikatan lahir batin antara seorang suami dan isteri, dan isteri mempunjai kewadjiban untuk membantu dan mendjaga kebahagiaan/keselamatan hidup berumah tangga (pasal 24), maka sudah sepatutnja persetudjuan dari padanja harus selalu ada apabila dengan alasan jang dapat diterima suami hendak mengadakan pernikahan dengan isteri kedua dan seterusnja. Disamping itu laki-laki harus berdjandji dengan tertulis, bahwa ia akan berlaku adil dalam tindakan-tindakannja terhadap isteri-isterinja serta dapat mendjamin keperluan hidup mereka.

     

    Apabila isteri tidak mau memberikan persetudjuannja, maka atas permintaan jang bersangkutan Pengadilan Agama setelah mendengar keterangan suami dan isteri, dapat menolak atau menjetudjui kehendak suami akan menikah dengan seorang isteri jang baru.

     

    Kepastian tentang hilangnja atau gilanja isteri seperti tersebut pada pasal 20 ajat 2 huruf b dan c, harus dibuktikan dengan surat keterangan Polisi atau Dokter.

     

    Pasal 21.

 

    Fihak-fihak jang dianggap berkepentingan dalam suatu pernikahan adalah:

 

    1. Suami/bekas suami dan isteri/bekas isteri;

    2. wali;

    3. Pegawai Pentjatat Nikah,

 

    Orang-orang lain jang tidak tersebut diatas tidak mempunjai hak untuk mengadjukan penuntutan atas kebatalan nikah, talak/chulu‘ dan rudjuk. Maka apabila diketahui oleh umum adanja suatu pernikahan jang disangka melanggar ketentuan-ketentuan tersebut diatas, maka laporan hendaknja disampaikan kepada Pegawai Pentjatat Nikah atau Kantor Urusan Agama, agar pendjabat jang bersangkutan dapat segera melakukan pengusutan sebagaimana mestinja, dan bilamana perlu perkara tersebut dilandjutkan kepada Pengadilan Agama.

 

    Pengadilan Agama membatalkan nikah, talak/chulu‘ dan rudjuk jang tidak memenuhi sjarat-sjarat itu, dan menentukan tentang kedudukan anak serta segala akibat jang timbul dari nikah, talak/chulu‘ dan rudjuk jang dibatalkan itu. Sungguhpun undang-undang ini tidak mengatur tentang kedudukan anak dan lain-lainnja sebagai akibat dari suatu nikah, talak/chulu‘ dan rudjuk jang bathil, akan tetapi tidak berarti bahwa Pengadilan Agama tidak berhak mendjatuhkan keputusannja untuk memelihara keselamatan anak itu. Pengadilan Agama dapat memutuskan bahwa laki-laki tidak berhak mengakui anak terhadap anak itu, tetapi dapat memikulkan kewadjiban supaja laki-laki menanggung perongkosan, nafkah serta pendidikan anak itu sampai umur delapan belas tahun, sekalipun anak itu diakui adalah anak ibunja. Dengan lain perkataan hak laki-laki itu sebagai bapak hilang, akan tetapi kewadjiban karena akibat perbuatannja tetap berlaku.

     

    Ajat 4 dari pasal ini adalah dimaksudkan dalam keadaan tidak ada banding, sedangkan ajat 6 dalam keadaan perkara itu dimintakan banding.

 

Pasal 22.

 

    Pada dewasa ini semakin banjak warga negara Indonesia jang berada diluar Indonesia, antaranja ada jang memangku djabatan pada perwakilan-perwakilan, badan-badan internasional, sebagai mahasiswa, siswa, kursis, mengadakan penjelidikan dalam suatu lapangan tertentu dan lain-lainnja. Mereka berada disana tidak hanja dua atau tiga bulan sadja tetapi kadang-kadang sampai tahunan, dan diantara mereka ada jang menghadjatkan kawin. Untuk ini perlu diadakan suatu peraturan perundangan tersendiri jang memungkinkan mereka kawin diluar Indonesia dengan tjara-tjara seperti di Indonesia.

     

    Menurut pasal 16 A. B. Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Peraturan Pernikahan Umat Islam ini berlaku djuga bagi warganegara Indonesia jang beragama Islam jang berada diluar Indonesia, ketjuali bila bagi mereka itu berlaku ketentuan-ketentuan lain berdasar undang-undang lain pula. Hanja bagaimana tjara pelaksanannja dan pentjatatannja sampai sekarang belum diatur setjara seksama.

     

    Tjara pelangsungan dan pentjatatan pernikahan warga negara Indonesia Umat Islam diluar Indonesia ini harus dibuatkan undang-undang tersendiri. Dengan demikian nantinja perkawinan warga negara Indonesia Umat Islam dapat dilakukan diluar Indonesia menurut undang-undang ini.

 

Pasal 23.

 

    Bukti otentik tentang adanja suatu perbuatan hukum jang penting seperti nikah, talak/chulu‘ dan rudjuk itu sangat diperlukan. Mengenai ini undang-undang memandang bahwa surat-surat nikah, talak/chulu‘ dan rudjuk jang dikeluarkan oleh Pegawai Pentjatat Nikah adalah merupakan surat bukti otentik jang sempurna. Bila bukti surat nikah, talak/chulu‘ dan rudjuk itu tidak dapat ditundjukkan karena sesuatu alasan jang tertentu, maka jang berkepentingan dapat minta kepada Pengadilan Agama suatu keputusan jang menjatakan tentang adanja nikah, talak/chulu‘ dan rudjuk jang sah jang telah dilakukannja mungkin sesudah ada keputusan Pengadilan Agama tentang ada tidak adanja nikah, talak/chulu‘ dan rudjuk, jang bersangkutan masih djuga harus dibebani hukuman pidana karena kelalaiannja. Untuk tertibnja administrasi negara, maka surat keputusan Pengadilan Agama tersebut harus didaftarkan pada Pegawai Pentjatat Nikah pada Kantor Urusan Agama Ketjamatan jang mewilajahi tempat kediaman suami/isteri jang berkepentingan untuk ditjatat.

 

Pasal 24.

 

    Hak dan kewadjiban suami isteri jang termaksud adalah berdasarkan pada norma-norma moraal, jang tidak diberikan sangsi hukum atasnja. Walaupun sangsi terhadap hak dan kewadjiban itu tidak ditegaskan dalam undang-undang ini, tidaklah berarti bahwa norma-norma moraal itu dapat diabaikan begitu sadja. Dalam banjak hal akan ternjata bahwa pelanggaran terhadap kewadjiban-kewadjiban moraal mempunjai akibat jang lebih berat dari pada aturan jang tertulis.

     

    Oleh karenanja perselisihan didalam hal ini sejogjanja mendjadi tugas keluarga jang bersangkutan. Badan-badan Penasihat Perkawinan serta Kantor Urusan Agama untuk menjelesaikannja.

 

Pasal 25.

 

    Kedudukan suami sebagai pembimbing terhadap isteri dan rumah tangga tidaklah berarti bahwa ia mempunjai hak jang lebih besar. Nafkah adalah kebutuhan pertama dalam hidup, jaitu makan dan minum. Kiswah adalah pakaian. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman jang merupakan kebutuhan utama dalam hidup, demikian pula biaja perawatan dan pengobatan serta biaja pendidikan anak-anak adalah mendjadi tanggungan suami. Hal ini tidaklah berarti bahwa isteri tidak boleh memberikan bantuan, bahkan ia dapat membebaskan kewadjiban suami tersebut apabila dirasa olehnja bahwa kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat ditjukupi sendiri.

     

    Adapun jang dimaksudkan "tamkin sempurna" pada ajat 4 b adalah ketaatan isteri tanpa sjarat dalam batas-batas hukum Islam.

 

Pasal 26, 27 dan 28.

 

    Hak dan kewadjiban suami isteri sudah djelas.

     

    Dalam hal seorang suami mempunjai lebih dari seorang isteri, maka ia harus dapat menunaikan kewadjibannja sebagai seorang suami dengan sebaik-baiknja.

     

    Giliran untuk bermalam dalam rumah isteri adalah hak isteri. Dalam pada itu seorang isteri jang baru nikah berhak memperoleh kesempatan untuk dipergauli suaminja lebih lama, pada hari-hari pertama setelah pernikahan dilangsungkan, jakni bagi isteri gadis tudjuh malam dan bagi isteri djanda tiga malam. Giliran pada waktu suami bepergian atau untuk membawa bepergian salah seorang isterinja hendaknja selalu didasarkan atas persetudjuan.

     

    Apabila timbul perselisihan dalam soal nafkah dan giliran ini, maka nasihat dapat dimintakan kepada Pegawai Pentjatat Nikah, atau bila perlu dimintakan keputusan Pengadilan Agama.

 

Pasal 29, 30, dan 31.

 

    Kewadjiban seorang isteri jalah berbakti kepada suami, dalam arti jang luas sepandjang batas jang dibenarkan hukum Islam serta menjelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknja.

     

    Arti kata "nusjuz", jalah tidak ta‘at, jakni enggan melakukan atau mengingkari kewadjiban.

     

    Jang dimaksud dengan "alasan jang sah" dalam pasal 31 ajat 1 jalah alasan jang dapat diterima jang menjebabkan isteri berbuat jang demikian itu.

 

Pasal 32, 33, 34, 35 dan 36.

 

    Dalam hukum pernikahan Islam tidak dikenal adanja "pertjampuran harta kekajaan antara suami dan isteri", sehingga dalam suatu pernikahan masing-masing suami isteri tetap mempunjai hak untuk mengurus, mempergunakan, mendjual maupun menggadaikan/menghipotikkan harta kekajaan jang dimilikinja.

     

    Kewadijban seorang suami sebagai tersebut pada pasal 25 ajat 3 adalah mutlak, sehingga apabila suami mempergunakan harta kekajaan isteri untuk membelandjai rumah tangga, maka akan mendjadi hutang dan suami wadjib untuk mengembalikannja, ketjuali kalau isteri mengichlaskannja.

     

    Walaupun demikian, oleh karena pengertian harta kekajaan dalam pernikahan di Indonesia mempunjai bentuk dan sifat jang berlain-lainan menurut adat-istiadat setempat, maka undang-undang itu tidak menutup perkembangan jang baik tentang hukum harta kekajaan dalam pernikahan jang berlaku didalam masjarakat. Suami isteri bebas untuk mengadakan perdjandjian dalam mengatur harta kekajaan masing-masing.

     

    Jang dimaksud dengan "keseimbangan jang adil" dalam pasal 34 ajat 2 ialah keseimbangan jang dipandang adil dalam masjarakat setempat. Isi dari istilah ini diserahkan sepenuhnja kepada perkembangan jurisprudensi.

 

Pasal 37.

 

    Tjukup djelas.

 

Pasal 38, 39. 40, 41 dan 42.

 

    Talak adalah suatu tindakan suami untuk melepaskan ikatan pernikahan setjara sefihak terhadap isterinja. Sungguhpun demikian pada dasarnja hukum Islam memberikan kwalifikasi jang berat terhadap hak mendjatuhkan talak itu, sebagaimana bunji Hadits Nabi Muhammad s.a.w. jang diriwajatkan oleh Abu Dawud jakni: "Pekerdjaan halal jang amat dibentji oleh Allah, adalah talak". Oleh karenanja agar laki-laki tidak akan mempergunakan hak talak itu setjara sewenang-wenang, maka undang-undang ini memberikan ketentuan alasan-alasan jang dapat dipergunakan oleh suami untuk mendjatuhkan talak terhadap isterinja.

     

    Talak harus didjatuhkan dengan kesadaran jang sungguh-sungguh dan tidak ada paksaan. Untuk itu maka Pegawai Pentjatat Nikah ditugaskan untuk mengawasi pelaksanaan talak memperhatikan apakah ketentuan jang tersebut dalam pasal 38 ajat 1 memang ternjata benar, sebelum meluluskan kehendak suami untuk mendjatuhkan talak. Demikian pula ia diwadjibkan untuk memberikan nasihat kepada suami isteri untuk mempertimbangkan lagi pendirian masing-masing supaja dapat rukun kembali.

     

    Dengan didjatuhkannja talak, maka pernikahan putus sehingga laki-laki tidak boleh hidup sebagai suami-isteri dengan bekas isterinja itu. Akan tetapi dalam batas waktu tertentu jakni selama perempuan masih dalam iddah (periksa pasal 54 s.d. 56), laki-laki masih terikat dengan beberapa kewadjiban sebagaimana tersebut pada pasal 42 dan berhak merudjuk bekas isterinja (periksa pasal 57 s.d. 59).

     

    Walaupun pada waktu didjatuhkan talak, pernikahan antara suami-isteri telah putus, akan tetapi laki-laki masih terikat kepada beberapa kewadjiban tertentu, jaitu:

     

      a. memberikan muth‘ah, baik berupa benda atau uang sebagai hadiah atau bekal hidup kepada bekas isterinja setelah lepas iddah, ketjuali apabila bekas isteri itu ditjerai sebelum ditjampuri dan maharnja sudah ditentukan pada waktu nikah,

      b. memberikan nafkah, kiswah dan tempat kediaman kepada bekas isterinja selama dalam waktu iddah, sebagaimana keadaan sebelum isteri itu ditalak,

      c. melunasi pembajaran mahar (maskawin), apabila belum dilunasinja,

      d. memberikan belandja untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknja, sampai anak-anak itu berumur delapan belas tahun dan dapat mengurus dirinja sendiri.

 

    Perselisihan tentang besar-ketjilnja muth‘ah serta nafkah jang harus dibajar oleh suami, diputuskan oleh Pengadilan Agama atas pengaduan dari fihak isteri, demikian pula Pengadilan Agama dapat mewadjibkan fihak suami memberikan bantuan kepada isteri menurut kesanggupannja sesudah habis iddah djika dan selama dianggap perlu.

 

Pasal 43 dan 44.

 

    Sudah mendjadi kebiasaan di Indonesia, bahwa sesudah akad nikah dilangsungkan, suami mengutjapkan sighat ta‘lik talak, jakni djandji jang berisikan sjarat-sjarat jang menjebabkan djatuh talaknja suami atas isterinja, apabila sjarat jang tersebut itu telah ada.

     

    Djatuhnja talak ditetapkan oleh Pengadilan Agama setelah ternjata bahwa sjarat-sjarat itu dapat dibenarkan adanja. Tanpa pengaduan dari isteri, maka talak itu tidak dapat djatuh, walaupun suami njata-njata melanggar salah satu sjarat. Hal ini berarti bahwa djalan jang terbuka bagi isteri untuk melepaskan tali pernikahan itu terserah kepadanja sendiri untuk dipergunakan atau tidak.

     

    Pasal 45, 46, 47 dan 48.

 

    Chulu‘, adalah suatu tjara bagi seorang isteri untuk melepaskan dirinja dari ikatan pernikahan dengan membajar iwadl kepada dan atas persetudjuan suaminja.

     

    Iwadl dapat berupa pemberian uang atau harta benda, pengembalian mahar dan lain-lainnja. Apabila suami belum memberikan mahar untuk sebagian atau seluruhnja, atau suami belum/tidak meberikan nafkah atau kewadjiban lainnja, maka isteri dapat membebaskan kewadjiban-kewadjiban itu sebagai pemberian iwadl.

     

    Sifat pertjeraian dengan tjara chulu‘ adalah atas dasar persetudjuan kedua belah fihak, oleh karenanja apabila telah ada persetudjuan, maka pemutusan pernikahan dengan djalan chulu‘ dapat didjatuhkan tanpa tjampur tangan Pengadilan Agama dan langsung dihadapan Pegawai Pentjatat Nikah dengan disaksikan oleh dua orang saksi. Chulu‘ itu bersifat ba‘in jang akibatnja tidak dapat dirudjuk.

     

    Djika mengenai besarnja iwadl tidak terdapat persetudjuan, maka isteri dapat menjerahkan perkaranja kepada Pengadilan Agama untuk mendapat pengadilan.

 

Pasal 49 dan 50.

 

    Atas permintaan fihak isteri Pengadilan Agama dapat memutuskan suatu pernikahan dengan djalan "fasach", berdasarkan alasan-alasan sebagaimana disebut pada pasal 49 ajat 1.

     

    Fasach memberikan djalan bagi fihak isteri untuk melepaskan diri dari ikatan pernikahan, apabila djalan talak dan chulu‘ tidak mungkin lagi.

 

Pasal 51 dan 52.

 

    Sjiqaq adalah perselisihan suami isteri jang hebat jang tidak dapat diketahui siapa jang salah dan siapa jang benar, hingga sulit sekali untuk didamaikan. Dalam hal ini suami isteri dapat minta kepada Pengadilan Agama untuk mengurus perkaranja. Tjara penjelesaian sijqaq sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 memberikan kemungkinan adanja usaha untuk mentjari islah atau damai.

     

    Mengenai kekuasaan hakamain jakni kedua hakam, praktek jang dianut oleh Pengadilan Agama di Indonesia adalah pendapat qaul kedua, jakni suatu pendapat bahwa kedua hakam tersebut mempunjai kekuasaan sebakai hakim jang dapat mendjalankan talak, menetapkan membajar dan menerima iwadl, tanpa persetudjuan suami isteri jang bersangkutan dan jang keputusannja bersifat mengikat bagi mereka.

 

Pasal 53.

    Tjukup djelas.

 

Pasal 54, 55, 56 dan 57.

 

    Iddah adalah suatu perhitungan waktu tertentu, dalam waktu mana bekas isteri atau bekas suami masing-masing masih terikat dengan kewadjiban-kewadjiban tertentu.

     

    Maksud iddah jang utama ialah mentjegah pertjampuran keturunan, oleh karenanja selama masa iddah itu bekas isteri tidak diperkenankan melakukan pernikahan baru.

     

    Dalam talak radja‘i, maka iddah itu memberikan:

 

    a. djangka waktu tertentu bagi kedua belah fihak untuk mempertimbangkan kembali sikap masing-masing, sehingga apabila timbul keinsjafan, suami dapat merudjuk bekas isterinja dengan tidak usah mengadakan akad nikah baru;

    b. kewadjiban kepada bekas suami untuk memberikan nafkah, kiswah dan tempat tinggal kepada bekas isterinja selama waktu iddah.

 

    Arti "waktu sutji (quru‘)", jalah waktu diantara dua darah, jaitu waktu dimana seorang wanita tidak dalam keadaan haidl atau nifas, jang lamanja tergantung kepada keadaan djasmanijah dari tiap-tiap wanita. Kalau seorang isteri ditjerai pada waktu sutji, maka iddahnja habis pada saat keluarnja darah haidl jang ketiga. Kalau seorang isteri ditjerai pada waktu haidl, maka iddahnja habis pada saat keluarnja darah haidl jang keempat.

 

Pasal 58, 59 dan 60.

 

    Rudjuk adalah hak seorang laki-laki untuk memperbaiki kembali kehidupan suami isteri dengan bekas isterinja jang telah didjatuhi talak radja‘i selama dalam iddah, dengan tidak perlu melakukan pernikahan baru.

     

    Talak radja‘i adalah talak satu jang didjatuhkan untuk pertama dan/atau jang kedua kalinja tanpa 'iwadl.

     

    Rudjuk tidak dapat dilakukan terhadap bekas isteri jang putus pernikahannja karena:

 

    a. ditjeraikan dengan djalan chulu;

    b. ditjeraikan dengan djalan fasach ketjuali apa jang tersebut pada pasal 49 ajat 1 huruf a, b, f dan h;

    c. didjatuhi talak tiga jang disebut pula "talak ba‘in kubra";

    d. ditjerai sebelum ditjampuri.

 

    Dalam pada itu pendapat dari bekas isteri harus senantiasa diperhatikan apakah ia bersedia atau tidak untuk dirudjuk, agar rudjuk itu mendjadi sjah dan dapat memenuhi maksud pernikahan jang sebenarnja.

 

Pasal 61 dan 62.

 

    Akibat hukum dari terputusnja suatu pernikahan dapat mengenai.

 

    a. hubungan dan hak kewadjiban suami isteri terhadap anak;

    b. hubungan dan hak kewadjiban terhadap harta kekajaan selama perkawinan.

 

    A. Kewadjiban terhadap anak.

 

    Menurut pasal 25 ajat 3 maka kewadjiban untuk memberikan nafkah, kiswah dan tempat tinggal serta biaja pendidikan bagi anak-anak adalah pada suami. Kewadjiban ini tidak dapat gugur disebabkan terputusnja pernikahan dan berlangsung sampai anak berumur delapan belas tahun dan sudah dapat mengurus dirinja sendiri.

     

    Hak dan kewadjiban untuk memelihara dan mengasuh anak baik mengenai pertumbuhan rochani, djasmani maupun ketjerdasan mereka adalah mendjadi beban bersama (periksa pasal 24 ajat 4), sehingga apabila tidak ada kesepakatan antara bekas suami isteri jang bersangkutan, maka untuk kemaslahatan anak-anak tersebut Pengadilan Agama dapat memutuskan kepada siapa anak-anak itu diserahkan untuk pemeliharaannja. Apabila Pengadilan Agama memutuskan bahwa anak-anak diserahkan kepada ibunja, maka ajahnja tetap berkewadjiban untuk memikul biaja pemeliharaan serta pendidikan mereka, sekurang-kurangnja sampai anak-anak itu berumur delapan belas tahun dan telah dapat mengurus dirinja sendiri.

 

    B. Hak dan kewadjiban terhadap harta kekajaan.

 

    Oleh karena dalam undang-undang ini tidak dikenal adanja pertjampuran harta-kekajaan dalam pernikahan, maka pada saat perkawinan itu terputus segala hak dan kewadjiban suami dan isteri terhadap harta kekajaan mendjadi tanggungan mereka masing-masing. Begitu pula hutang-piutang jang dibuat mereka masing-masing setjara tersendiri dengan fihak ketiga, ditanggung oleh mereka masing-masing.

    Hutang jang dipergunakan untuk pembiajaan rumah tangga atas persetudjuan suami, ditanggung oleh suami.

     

    Walaupun demikian, sebagaimana tersebut pada pasal 35 diatas, ketentuan-ketentuan mengenai harta kekajaan dalam pernikahan ini tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum adat/adat kebiasaan.

 

Pasal 63, 64, 65 dan 66.

    Tjukup djelas.

 

Pasal 67 dan 68.

 

    "Laki-laki dan perempuan" sebagai tersebut pada pasal 67 dimaksudkan "laki-laki dan perempuan jang seharusnja tunduk pada undang-undang ini".

     

    Jang dimaksud dengan "instansi jang berkepentingan" dalam pasal 68 ialah Pegawai Pentjatat Nikah dalam hal terhukum bukan Pegawai Pentjatat Nikah, atau Kepala Kantor Urusan Agama Daerah Tk. II dalam hal terhukum itu Pegawai Pentjatat Nikah sendiri.

 

Pasal 69.

    Tjukup djelas.

 

Pasal 70, 71, 72 dan 73.

 

    Berdasarkan pasal 29 ajat 2 Undang-Undang Dasar jang didjiwai oleh Piagam Djakarta, maka sudah selajaknja djika bagi setiap suami dan/atau isteri warga Negara Indonesia jang beragama Islam atau jang kemudian memeluk agama Islam diperlakukan hukum pernikahan Islam jang diatur oleh Undang-Undang ini.

     

    Peraturan peralihan ini dimaksud untuk mengatur tentang berlakunja Undang-Undang ini bagi mereka itu. Disamping itu djuga mengatur tentang tidak berlakunja Undang-Undang ini terhadap suami dan/atau isteri umat Islam jang kemudian pindah memeluk agama selain Islam.

     

    Pada dasarnja hukum Islam menganggap bahwa perkawinan suami isteri jang dilakukan menurut aturan atau agama jang dipeluknja sebelum mereka memeluk agama Islam adalah sah, selama tidak melanggar larangan-larangan jang mutlak. Oleh karena itu Pengadilan Negeri sebelum menetapkan bahwa jang berkepentingan selandjutnja tunduk pada undang-undang ini perlu memeriksa lebih dulu apakah perkawinan mereka jang dilakukan sebelum mereka memeluk agama Islam tidak melanggar pasal-pasal 11, 12 huruf b dan pasal 13.

     

    Dalam hal suami isteri kedua-duanja atau salah seorang dari mereka pindah memeluk agama selain Islam, maka harus ada keputusan Pengadilan Agama untuk membebaskan berlakunja undang-undang ini bagi jang berkepentingan.

     

    Baik dalam hal suami isteri kedua-duanja atau salah seorang dari mereka masuk agama Islam ataupun djika kedua-duanja atau salah seorang dari mereka pindah memeluk agama selain Islam, maka surat keputusan Pengadilan Agama atau, Pengadilan Negerilah jang didjadikan sandaran bagi Pegawai Pentjatat Nikah untuk merobah, memperbaiki atau menghapus tjatatan-tjatatan dalam daftar nikah, talak/chulu‘ dan rudjuk.

 

Pasal 74 dan 75.

    Tjukup djelas.

     

    Quelle: Quelle: Sudarsono, S., Masalah Administratif dalam Perkawinan Umat Islam Indonesia. o. A., S. 153-206