Penjelasan



RANTJANGAN

UNDANG-UNDANG NO.   ...... TAHUN .....

 

tentang

 

KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERKAWINAN

 

DENGAN RAHMAT TUHAN JANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang:

 

Bahwa sesuai dengan dasar Pantjasila jang dapat mempersatukan seluruh bangsa Indonesia dan sesuai dengan tjita-tjita pokok pembinaan hukum Nasional dianggap perlu adanja Undang-undang Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan, jang berlaku bagi semua warga-negara di samping Undang-undang Perkawinan chusus jang mengatur hukum perkawinan menurut golongan agama masing-masing.

 

Mengingat:

 

    1. Pasal 5 ajat (1)dan pasal 29 Undang-undang Dasar 1945;

    2. Ketetapan Madjelis Permusjawaratan Rakjat Sementara

    Nomor XXVIII/MPRS/1966, pasal 1 ajat (3).

 

Dengan persetudjuan D.P.R. - GR. dalam rapatnja tt.   ......

 

M E M U TU S K A N :

 

 

Menetapkan:

 

    UNDANG-UNDANG TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERKAWINAN.

 

B A B 1.

DASAR PERKAWINAN.

 

Pasal 1.

 

    Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita dengan tudjuan membentuk keluarga (rumah tangga) jang bahagia dan kekal.

 

Pasal 2.

 

    (1) Perkawinan adalah sah bilamana dilangsungkan menurut aturan-aturan jang ditetapkan dalam Undang-undang.

    (2) Setiap perkawinan ditjatat oleh Pegawai Pentjatat jang berwenang.

    (3) Tentang pentjatatan jang dimaksud dalam ajat (2) diatur dalam Undang-Undang tersendiri.

 

Pasal 3.

 

    (1) Pada azasnja perkawinan adalah monogami.

    (2) Pengetjualian dari ajat (1) dapat dilakukan bilamana diizinkan berdasarkan Undang-undang jang mengatur perkawinan dari fihak jang bersangkutan.

 

Pasal 4.

 

    Perkawinan harus didasarkan atas persetudjuan kedua mempelai.

 

 

BAB II.

SJARAT-SJARAT PERKAWINAN.

 

Pasal 5.

 

    (1) Perkawinan hanja diizinkan djika fihak pria sudah mentjapai umur 18 tahun dan fihak wanita sudah mentjapai umur 15 tahun.

    (2) Dalam hal-hal jang penting penjimpangan dari ajat (1) diatas dapat diminta dispensasi kepada Hakim jang berwenang atau pedjabat jang ditundjuk oleh Undang-undang.

 

Pasal 6.

 

Perkawinan dilarang antara dua orang jang:

 

    (1) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus.

    (2) berhubungan darah dalam garis keturunan menjimpang, jaitu:

    antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknja.

    (3) berhubungan sedemikian, sehingga perkawinannja dilarang berdasar Undang-undang jang mengatur perkawinan dari agamanja fihak-fihak jang bersangkutan.

 

Pasal 7.

 

    (1) Larangan adat mengenai perkawinan jang tidak sesuai dengan sistim parental tidak berlaku.

    (2) Larangan perkawinan berdasarkan perbedaan kasta atau warna, suku bangsa atau asal usul tidak berlaku.

 

 

BAB III.

PERTUNANGAN.

 

Pasal 8.

 

    (1) Perkawinan dapat didahului dengan pertunangan.

    (2) Pertunangan tidak menimbulkan suatu keharusan untuk melakukan perkawinan.

    (3) Bila pertunangan itu mengakibatkan kehamilan, maka fihak pria diharuskan kawin dengan wanita itu, djika disetudjui oleh fihak wanita.

    (4) Dalam hal pertunangan dibatalkan, maka fihak jang bersalah dapat diwadjibkan untuk memikul akibatnja, apabila ada pemberian tanda pengikat dan/atau pengeluaran untuk persiapan perkawinan.

 

 

BAB IV.

PERDJANDJIAN PERKAWINAN.

 

Pasal 9.

 

    (1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua fihak atas persetudjuan bersama dapat mengadakan perdjandjian tertulis jang disahkan oleh pegawai pentjatat perkawinan, setelah mana isinja berlaku djuga terhadap fihak ketiga tersangkut.

    (2) Perdjandjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

    (3) Selama perkawinan berlangsung perdjandjian tersebut tidak dapat dirubah, ketjuali bila dari kedua belah fihak ada persetudjuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan fihak ketiga.

 

 

BAB V.

HAK DAN KEWADJIBAN

SUAMI-ISTRI.

 

Pasal 10.

 

    Kedua suami-isteri memikul kewadjiban jang luhur untuk menegakkan rumah-tangga jang mendjadi sendi dasar dari susunan masjarakat.

 

Pasal 11.

 

    (1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masjarakat.

    (2) Masing-masing fihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

    (3) Suami adalah kepala keluarga.

 

Pasal 12.

 

    (1) Suami-isteri wadjib serumah-setempat kediaman.

    (2) Rumah tempat kediaman jang dimaksud dalam ajat (1) ditentukan oleh suami-isteri bersama.

 

Pasal 13.

 

    Kedua suami-isteri wadjib saling tjinta-mentjintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir-bathin jang satu kepada jang lain.

 

Pasal 14.

 

    (1) Suami wadjib melindungi isterinja dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah-tangga sesuai dengan kemampuannja.

    (2) Djika suami lalai untuk memenuhi kewadjiban tersebut pada ajat (1), isteri dapat mengadjukan gugatan kepada Hakim jang berwenang.

    (3) Isteri wadjib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknja.

 

 

BAB VI.

HARTA BENDA DALAM

PERKAWINAN.

 

Pasal 15.

 

    (1) Harta benda jang diperoleh selama perkawinan mendjadi milik bersama.

    (2) Harta bawaan dari masing-masing suami-isteri dan harta benda jang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing.

 

Pasal 16.

 

    (1) Mengenai harta benda milik bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetudjuan kedua belah fihak.

    (2) Masing-masing suami-isteri mempunjai hak sepenuhnja untuk melakukan tindakan hukum mengenai harta bendanja sendiri.

 

Pasal 17.

 

    Bilamana perkawinan putus karena pertjeraian, harta benda milik bersama dibagi separoh diantara bekas suami-isteri.

 

 

BAB VII.

PUTUSNJA PERKAWINAN

SERTA AKIBATNJA.

 

Pasal 18.

 

    (1) Perkawinan putus karena kematian atau pertjeraian.

    (2) Sebab-sebab pertjeraian diatur berdasar undang-undang jang mengatur perkawinan dari agamanja fihak-fihak jang bersangkutan.

 

Pasal 19.

 

Akibat putusnja perkawinan karena pertjeraian ialah:

    (1) a.  Baik ibu atau bapak tetap berkewadjiban memelihara dan mendidik anak-anaknja, semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Bilamana ada perselisihan mengenai pengurusan anak-anak, Hakim berwenang memberi keputusannja.

    b. Bapak jang bertanggung-djawab atas semua biaja pemeliharaan dan pendidikan jang diperlukan anak itu.

    Bilamana bapak dalam kenjataan tidak dapat memenuhi kewadjiban tersebut, Hakim dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaja tersebut.

    (2) Hakim jang berwenang dapat mewadjibkan bekas suami menurut kemampuannja memberi biaja penghidupan kepada bekas isterinja selama ia belum bersuami lagi.

 

 

Pasal 20.

 

    (1) Keputusan pertjeraian harus ditjatat oleh pegawai pentjatat jang berwenang ditempat pertjeraian telah terdjadi.

    (2) Salinannja dikirimkan kekantor pentjatat dimana perkawinan dilangsungkan.

    (3) Tentang pentjatatan jang dimaksud dalam ajat (1) diatur dalam Undang-Undang tersendiri.

 

 

BAB VIII.

KEDUDUKAN ANAK

 

Pasal 21.

 

    Anak jang sah adalah jang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan jang sah.

 

Pasal 22.

 

    (1) Anak jang dilahirkan diluar perkawinan hanja mempunjai hubungan perdata dengan ibunja dan keluarga ibunja.

    (2) Anak jang dimaksud dalam ajat (1) dapat disahkan dengan perkawinan bapak alam dan ibunja.

 

Pasal 23.

 

    (1) Seorang suami dapat menjangkal sahnja anak jang dilahirkan oleh isterinja, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinja telah berzinah dan anak itu akibat daripada perzinahan tersebut.

    (2) Hakim jang berwenang memberikan keputusan tentang sah/tidaknja atas permintaan fihak jang berkepentingan.

    (3) Sahnja anak dapat disangkal apabila:

      1. Anak itu dilahirkan sebelum tjukup 180 hari sesudah hari perkawinan atau 360 hari sesudah perkawinan putus,.

      2 Suami dapat membuktikan bahwa selama waktu 360 hari sampai 180 hari sebelum anak itu dilahirkan, ia tidak mungkin berkumpul dengan isterinja.

 

 

BAB IX

HAK DAN KEWADJIBAN ANTARA ORANG-TUA DAN

ANAK

 

Pasal 24.

 

    (1) Kedua orang-tua wadjib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknja.

    (2) Kewadjiban orang tua jang dimaksudkan dalam ajat (1) berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri-sendiri, kewadjiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang-tua diputuskan.

 

Pasal 25.

 

    (1) Anak wadjib menghormati orang-tua dan mentaati kehendak mereka jang baik.

    (2) Djika anak telah dewasa, ia wadjib memelihara menurut kekuatannja, orang-tua dan keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka itu memerlukan bantuannja.

 

Pasal 26.

 

    Pendidikan Agama bagi anak-anak ditetapkan oleh orang-tuanja.

 

Pasal 27.

 

    (1) Anak jang belum berdiri sendiri atau belum kawin berada dibawah kekuasaan orang-tuanja selama mereka tidak ditjabut dari kekuasaannja.

    (2) Orang-tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar Pengadilan.

    (3) Jang mendjalankan kekuasaan orang-tua ialah bapak. Djika bapak ditjabut dari kekuasaannja, ibu jang mendjalankan kekuasaan tersebut.

    (4) Jang dimaksud kekuasaan orang-tua adalah kekuasaan jang melekat pada ajah atau ibu baik didalam perkawinan atau sesudah putusnja perkawinan.

 

Pasal 28.

 

    Orang-tua hanja diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap jang dimiliki anaknja jang belum berdiri sendiri atau belum kawin ketjuali apabila kepentingan anak itu menghendakinja.

 

Pasal 29.

 

    (1) Salah seorang atau kedua orang-tua dapat ditjabut kekuasaannja terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu jang tertentu atas permintaan orang-tua jang lain, keluarga anak dalam garis jang lurus keatas dan saudara kandung jang telah dewasa atau pendjabat jang berwenang, dengan keputusan Hakim jang berwenang, dalam hal-hal jang berikut:

1. Djika ia sangat melalaikan kewadjibannja terhadap anaknja.

2. Djika ia berkelakuan buruk sekali.

    (2) Meskipun orang-tua ditjabut dari kekuasaanja, mereka masih tetap berkewadjiban untuk memberi biaja pemeliharaan kepada anak tersebut.

 

 

BAB X

PERWALIAN

 

Pasal 30.

 

    (1) Anak jang belum berdiri sendiri atau belum kawin, jang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.

    (2) Perwalian itu mengenai pribadi anak jang bersangkutan maupun harta bendanja.

 

Pasal 31.

 

    (1) Wali dapat ditundjuk oleh salah satu orang-tua jang mendjalankan kekuasaan orang-tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan dihadapan dua orang saksi. Djika tidak ada wali jang ditundjuk setjara demikian maka Hakim jang berwenang jang menundjuknja.

    (2) Wali seboleh-bolehnja diambil dari kalangan keluarga anak tersebut atau orang lain jang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, djudjur dan berkelakuan baik.

    (3) Wali wadjib mengurus anak jang dibawah penguasaannja dan harta benda sebaik-baiknja, dengan menghormati agama anak itu.

    (4) Wali wadjib membuat daftar harta benda anak jang berada dibawah kekuasaannja pada waktu memulai djabatannja dan mentjatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.

    (5) Wali bertanggung djawab tentang harta benda anak jang berada dibawah perwaliannja serta kerugian jang ditimbulkan karena kesalahan atau lelalaiannja.

 

Pasal 32.

 

    Terhadap wali berlaku djuga pasal 28.

 

Pasal 33.

 

    (1) Wali dapat ditjabut dari kekuasannja, dalam hal-hal jang tersebut dalam pasal 29.

    (2) Dalam hal-hal tersebut, oleh Hakim jang berwenang ditundjuk orang lain sebagai wali.

 

Pasal 34.

 

    Wali jang telah menjebabkan kerugian kepada harta benda anak jang dibawah kekuasaannja, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan keputusan Hakim jang berwenang dapat diwadjibkan untuk mengganti kerugian tersebut.

 

 

BAB XI.

SANKSI.

 

Pasal 35.

 

    Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan didalam Undang-undang ini diberi sanksi sebagai tersebut dalam Undang-undang tersendiri.

 

 

BAB XII.

PERATURAN PERALIHAN.

 

Pasal 36.

 

    Perkawinan dan segala sesuatu jang berhubungan dengan perkawinan jang terdjadi sebelum Undang-undang ini berlaku jang didjalankan menurut peraturan-peraturan lama, dianggap sah.

     

Pasal 37.

     

     

    Untuk perkawinan dan segala sesuatu jang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, selama Undang-undang Perkawinan chusus menurut golongan agama masing-masing belum ditetapkan, berlaku peraturan lama apabila Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan ini tidak memberikan ketentuan.

 

 

BAB XIII.

PERATURAN PENUTUP.

 

Pasal 38.

 

    Perkawinan bagi Umat-umat Islam, Katolik Kristen / Protestan, Hindu-Budha, Umat-umat lain dan Perkawinan Tjampuran, diatur didalam. Undang-Undang tersendiri.

 

 

Pasal 39.

 

    Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini tidak mengurangi segala sesuatu jang ditentukan dalam Undang-undang Perkawinan chusus menurut golongan agama masing-masing.

     

Pasal 40.

     

    Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannja.

    Agar supaja setiap orang dapat mengetahuinja memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannja dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

     

     

 

 

 

Diundangkan di Djakarta

pada tanggal ..... .....

 

SEKRETARIS NEGARA,

 

ALAMSJAH

MAJ. DJEN. TNI.

 

 

Disahkan di Djakarta

pada tanggal ..... .....

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

SOEHARTO

DJENDRAL T. N. I.

 

 

 

RANTJANGAN PENDJELASAN

UNDANG-UNDANG NO:  .....  TAHUN  .....

 

TENTANG

 

KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERKAWINAN

 

UMUM:

 

    1. Ketetapan Madjelis Permusjawaratan Rakjat Sementara No. XXVIII/MPRS/66, pasal 1 ajat (3) tentang kebidjaksanaan Peningkatan Kesedjahteraan Rakjat, telah memutuskan bahwa perlu segera diadakan Undang-undang Perkawinan.

 

    2. Untuk mendjamin kepastian hukum dan meningkatkan kesedjahteraan rakjat, hukum perkawinan jang untuk sebagian besar masih merupakan hukum tidak tertulis, perlu diberi bentuk tertulis dan dihimpun dalam bentuk kodifikasi.

 

    3. Sesuai dengan dasar falsafah Pantjasila jang mendjundjung tinggi agama dan jang mendjiwai tjita-tjita pokok pembinaan hukum nasional, dianggap perlu untuk menetapkan Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan jang menudju kepada unifikasi atau homogenita hukum dalam batas-batas tertentu dengan sepenuhnja memperhatikan hukum agama jang berlaku bagi golongan agama masing-masing.

 

    4. Dalam Undang-undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Perkawinan ditentukan dasar-dasar pokok mengenai perkawinan dan segala sesuatu jang berhubungan dengan perkawinan jang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman dan tidak bertentangan dengan azas-azas agama jang diakui di Indonesia, sedangkan pelaksanaan Undang-undang Pokok tersebut diatur dalam berbagai Undang-undang Perkawinan jang chusus menurut agama masing-masing, jaitu Undang-Undang Perkawinan Umat Islam, Undang-Undang Perkawinan Umat Kristen Protestan, Undang-Undang Perkawinan Umat Katolik, Undang-Undang Perkawinan Hindu-Budha, Undang-Undang Perkawinan bagi Umat lain dan Undang-Undang Perkawinan Tjampuran.

 

    5. Pokok-pokok dasar jang penting mengenai azas dan dasar perkawinan, sjarat-sjarat mengenai perkawinan, hak dan kewadjiban suami-isteri, putusnja perkawinan dan akibatnja, kedudukan anak, hak dan kewadjiban antara orang-tua dan anak dan perwalian perlu diatur untuk melindungi keluarga jang dibentuk sebagai akibat perkawinan pada waktu perkawinan, didalam perkawinan dan bila ada pertjeraian.

 

    6. Undang-undang ini merupakan ketentuan-ketentuan pokok perkawinan, maka pelaksanaannja serta sanksi terhadap pelanggaran-pelanggaran dan ketentuan-ketentuan ini, diatur dalam Undang-undang chusus.

 

    Berhubung dengan itu Undang-undang menurut agama masing-masing, sepandjang belum ada, perlu segera diundangkan.

     

    7. Sebagaimana lazimnja, perkawinan dan segala sesuatu jang berhubungan dengan perkawinan jang terdjadi sebelum Undang-undang ini berlaku adalah sjah.

    Akan tetapi untuk selandjutnja bagi perkawinan jang bersangkutan akan diperlakukan ketentuan-ketentuan Pokok dalam Undang-undang ini disamping Undang-undang chusus jang berlaku bagi mereka jang bersangkutan. Adapun mengenai sahnja perkawinan jang dilangsungkan dalam djangka waktu antara saat berlakunja Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan ini dan Undang-undang Perkawinan chusus menurut golongan agama masing-masing maka diperlakukan ketentuan-ketentuan lama karena hal ini belum diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan. Untuk hal-hal lain mengenai segala sesuatu jang berhubungan dengan perkawinan jang sudah diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan, maka berlaku peraturan Undang-undang ini.

 

PASAL DEMI PASAL:

 

BAB I.

Dasar Perkawinan.

 

Pasal 1.

 

Sebagai negara jang berdasarkan Pantjasila, dimana sila jang pertamanja ialah ke-Tuhanan Jang Maha Esa, maka perkawinan mempunjai hubungan jang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan sadja mempunjai pengertian lahir/djasmani, tetapi unsur bathin/rohani djuga memegang peranan jang penting.

 

Pasal 2.

 

    (1) Tjukup djelas.

    (2) Tjukup djelas.

    (3) Tjukup djelas.

 

Pasal 3.

 

    (1) Tjukup djelas.

    (2) Jang dimaksud dengan hukum agama ialah hukum dari agama-agama jang sudah diakui oleh negara sebagai agama resmi.

 

Pasal 4.

 

Oleh karena perkawinan mempunjai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga jang bahagia dan kekal, dan sesuai pula dengan hak-hak azasi manusia, maka perkawinan harus disetudjui oleh kedua fihak jang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

 

BAB II.

Sjarat-sjarat Perkawinan.

 

Pasal 5.

 

    (1) Untuk mendjaga kesehatan suami-isteri dan keturunannja, perlu ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan.

    (2) Dispensasi dapat diberikan atas dasar kepentingan fihak-fihak jang akan melangsungkan perkawinan.

 

Pasal 6.

 

Perhubungan darah mempunjai arti perhubungan darah sebagai akibat dari perkawinan jang sah maupun jang tidak sah.

    (1) Jang dimaksud dalam ajat ini ialah perkawinan antara laki-laki dengan ibunja, neneknja dan seterusnja (turunan lurus keatas), atau dengan anak perempuannja, tjutju perempuannja dan seterusnja (turunan lurus kebawah) dan sebaliknja.

    (2) Tjukup djelas.

    (3) Misalnja perkawinan antara saudara susuan dalam Islam.

 

Pasal 7.

 

    (1) Misalnja perkawinan antara saudara sepupu jang terdapat dalam beberapa masjarakat-adat.

    (2) Jang dimaksud dengan "kasta atau warna" ialah tingkat-tingkat jang dikenal dalam agama Hindu-Bali sebagai "Tjatur warna" (= 4 kasta : Brahma, Ksatrija, Waisya dan Sudra).

Perkataan asal-usul mengandung arti :

1. keturunan dari keluarga Radja-radja, bangsawan atau rakjat djelata;

      2. mereka jang memperoleh kewarganegaraan Indonesia berdasarkan Undang-undang Kewarganegaraan jang berlaku atau dikenal dengan istilah "tidak asli".

 

BAB III.

Pertunangan.

 

Pasal 8.

 

    (1) Jang dimaksud dengan pertunangan ialah suatu ikatan jang mendahului perkawinan, dimana kedua belah fihak berdjandji untuk melangsungkan perkawinan, dengan memberikan suatu tanda pengikat.

    (2) Tjukup djelas.

    (3) Hal ini untuk mentjegah tindakan sewenang-wenang dari fihak pria memutuskan pertunangan.

    (4) Tjukup djelas.

 

 

BAB IV.

Perdjandjian Perkawinan

 

Pasal 9.

 

    (1) Dalam Surat Perdjandjian Perkawinan dapat ditjantumkan keinginan kedua belah fihak, bukan sadja mengenai harta-benda seperti jang dimaksud dalam pasal 15 dan 16 Undang-Undang ini, tetapi djuga mengenai sjarat-sjarat/djandji-djandji lain jang harus dipenuhi oleh salah satu fihak

    (2) Tjukup djelas.

    (3) Tjukup djelas.

    (4) Tjukup djelas.

 

 

BAB V.

Hak dan Kewadjiban Suami-Isteri.

 

Pasal 10.

 

Tjukup djelas.

 

Pasal 11.

 

    (1) Dalam masjarakat Indonesia jang berdasarkan Pantjasila dan mendjundjung tinggi hak-hak azasi manusia, maka kedudukan suami-isteri dalam masjarakat harus berdasarkan pada prinsip persamaan hak dan persamaan kewadjiban

    (2) Tjukup djelas.

    (3) Sebutan "kepala-keluarga" disini adalah menundjukkan siapa jang memimpin keluarga/rumah-tangga.

 

Pasal 12.

 

    (1) Tjukup djelas.

    (2) Tjukup djelas.

 

Pasal 13.

 

Tjukup djelas.

 

Pasal 14.

 

    (1) Tjukup djelas.

    (2) Jang dimaksud dengan hakim jang berwenang disini ialah hakim umum atau hakim agama tergantung dari persoalan jang diadjukan kepadanja.

    (3) Tjukup djelas.

 

 

BAB VI.

Harta Benda Dalam Perkawinan.

 

Pasal 15.

 

    (1) Harta benda milik bersama ialah harta jang diperoleh suami isteri selama dalam ikatan perkawinan baik setjara bersama-sama atau setjara masing-masing.

    (2) Hadiah atau warisan jang diperoleh masing-masing baik sebelum atau sesudah adanja ikatan perkawinan berada dibawah penguasaan masing-masing.

 

Pasal 16.

 

    (1) Tjukup djelas.

    (2) Tjukup djelas.

 

Pasal 17.

 

 Tjukup djelas.

 

 

BAB VII.

Putusnja Perkawinan serta Akibatnja.

 

Pasal 18.

 

    (1) Tjukup djelas.

    (2) Tjukup djelas.

 

Pasal 19.

 

    (1) Tjukup djelas.

    (2) Tjukup djelas.

 

Pasal 20.

 

    (1) Tjukup djelas.

    (2) Tjukup djelas.

    (3) Tjukup djelas.

 

 

BAB VIII.

Kedudukan Anak.

 

Pasal 21.

 

 Tjukup djelas.

 

Pasal 22.

 

    (1) Anak jang dilahirkan diluar perkawinan hanja mempunjai hubungan perdata dengan ibunja dan keluarga ibunja, mengandung pengertian bahwa terhadap anak tersebut berlaku ketentuan-ketentuan hukum mengenai hak dan kewadjiban sebagai lazimnja anak terhadap orang tua dan keluarganja.

 

Pasal 23.

 

    (1) Tjukup djelas.

    (2) Tjukup djelas.

    (3) Tjukup djelas.

 

 

BAB IX.

Hak dan Kewadjiban Antara

Orang-tua dan Anak.

 

Pasal 24.

 

    (1) Tjukup djelas.

    (2) Perkataan berdiri sendiri mengandung arti bahwa ia dianggap telah sanggup mengurus dirinja sendiri tanpa bantuan orang tua.

 

Pasal 25.

 

    (1) Tjukupdjelas.

    (2) Tjukup djelas.

 

Pasal 26.

 

Tjukup djelas.

 

Pasal 27.

 

    (1) Tjukup djelas.

    (2) Tjukup djelas.

    (3) Tjukup djelas.

    (4) Tjukup djelas.

 

Pasal 28.

 

Untuk mentjegah agar orang tua tidak berbuat sewenang-wenang terhadap barang-barang milik anak jang hanja untuk kepentingan orang tua.

 

Pasal 29.

 

    (1) Jang dimaksud orang tua lain ialah ibunja atau bapaknja, sedangkan keluarga anak adalah terbatas pada nenek kakek seterusnja keatas dan saudara jang telah dewasa. Jang dimaksud kewadjiban pada angka 1 ialah kewadjiban tersebut pada pasal 24 ajat (1). Jang dimaksud berkelakuan buruk sekali antara lain suka berdjudi, mabok, melatjur, mentjuri, menganiaja dan sebagainja sehingga membahajakan keselamatan rumah-tangga.

    (2) Pentjabutan kekuasaan orang-tua perlu agar anak terhindar dari pengaruh kelakuan jang buruk. Tetapi hal ini tidak membebaskan kewadjibannja untuk memberi biaja pemeliharaan kepada anak, djustru karena anak tersebut memerlukan kelangsungan hidupnja.

 

 

BAB X.

Perwalian.

 

Pasal 30.

 

    (1) Adanja wali sebagai pengganti orang tua perlu untuk mengurus kepentingan anak djangan sampai terlantar.

    (2) Tjukup djelas.

 

Pasal 31.

 

    (1) Tjukup djelas.

    (2) Tjukup djelas.

    (3) Tjukup djelas.

    (4) Tjukup djelas.

    (5) Tjukup djelas.

 

Pasal 32.

 

Tjukup djelas.

 

Pasal 33.

 

    (1) Tjukup djelas.

    (2) Tjukup djelas.

 

Pasal 34.

 

Termasuk menjebabkan kerugian kepada harta benda anak antara lain ialah menggelapkan, merusakkan, menukar dan mempergunakannja tidak sesuai dengan kepentingan anak.

 

 

BAB XI.

Sanksi.

 

Pasal 35.

 

Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini merupakan azas-azas, karena itu sanksi bagi siapa jang melanggarnja diatur dalam Undang-undang pelaksanaan.

 

 

BAB XII

Peraturan Peralihan.

 

Pasal 36.

 

Termasuk segala sesuatu jang berhubungan dengan perkawinan ialah segala akibat daripada perkawinan tersebut.

 

Pasal 37.

 

Untuk mentjegah Ketidak pastian mengenai sahnja perkawinan jang dilangsungkan dalam djangka waktu antara saat berlakunja Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan ini dan Undang-undang Perkawinan chusus  menurut golongan agama masing-masing maka diperlukan ketentuan-ketentuan lama, karena hal ini belum diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan ini. Untuk hal-hal lain mengenai segala sesuatu jang berhubungan dengan perkawinan jang sudah diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan, maka berlaku peraturan Undang-undang ini.

 

 

BAB XIII

Peraturan Penutup.

 

Pasal 38.

 

Jang dimaksud Umat-umat lain ialah Umat-umat selain Islam, Katolik, Kristen/Protestan dan Hindu Budha.

Perkawinan tjampuran disini adalah perkawinan antar agama dan antar bangsa.

 

Pasal 39.

 

    Tjukup djelas.

 

Pasal 40.

 

    Tjukup djelas.

 

 

Quelle: Sekretariat Dewan Perwakilan Rakjat Gotong Rojong, Himpunan Rantjangan Undang Undang jang belum selesai - Sedjak tanggal 20 Djuni 1966 sampai dengan tanggal 15 Agustus 1971. Chusus R.U.U. dari Pemerintah. Bd. I. Jakarta 1971.

 


Penjelasan