Penjelasan


UNDANG-UNDANG NOMOR ..... TAHUN .....

 

TENTANG

 

SUSUNAN DAN KEKUASAAN

 

BADAN-BADAN PERADILAN AGAMA

 

 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

 

 

Menimbang :

 

 Bahwa untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam pasal 10 ayat (1) Sub b dan pasal 12 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, perlu ditetapkan Undang-Undang tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Peradilan Agama.

 

 

Mengingat :

 

    1. Pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1), Pasal 24, Pasal 25 dan pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 ;

    2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.IV/MPR/1973;

    3. Pasal 10 ayat (1) dan pasal 12 Undang-Undang No .14 tahun 1970.

 

 

Dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat

 

 

MEMUTUSKAN

 

 

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG SUSUNAN DAN KEKUASAAN BADAN-BADAN PERADILAN AGAMA.

 

BAB I

 

KETENTUAN UMUM

 

Pasal 1.

 

Kekuasaan kehakiman dalam lingkungan Peradilan Agama dilakukan oleh :

 

    a. PENGADILAN AGAMA.

    b. PENGADILAN TINGGI AGAMA.

    c. MAHKAMAH AGUNG BIDANG AGAMA.

 

Pasal 2.

 

    (1) Badan-Badan Peradilan Agama tersebut dalam pasal 1 berkuasa mengadili perkara perdata yang harus diperiksa dan diputus menurut hukum pernikahan, hukum keluarga, hukum faraid, wakaf, hibah, wasiat, sadaqah ,baitul mal, dan lain-lain perkara perdata yang diperiksa dan diputus, menurut hukum Islam.

 

    (2) Badan-Badan Peradilan Agama tersebut pasal 1 juga berkuasa memberi ketetapan dari orang-orang yang masuk dan keluar agama Islam dan memberi penetapan tentang kesaksian ru‘yatul hilal.

 

    (3) Apabila diminta oleh Pemerintah atau lembaga-lembaga Negara, badan-badan Peradilan Agama harus memberikan nasehatnya tentang hukum Islam.

 

    (4) Fatwa Agama hanya bisa diberikan oleh Mahkamah Agung bidang Agama bila diminta oleh Pemerintah atau lembaga-lembaga Negara.

 

 

BAB II

 

HAKIM AGAMA

 

Pasal 3

 

    (1) Hakim Agama haruslah :

      a. Seorang Sarjana Syari'ah atau Sarjana Hukum yang menguasai Hukum Islam.

      b. Seorang Ahli Hukum Syari'ah yang cakap dan berpengalaman.

 

    (2) Hakim Agama Kehormatan Ialah Hakim pada Pengadilan Agama yang diangkat dari kalangan Ulama-Ulama Islam setempat untuk duduk sebagai Hakim Anggota.

 

    (3) Hakim-Hakim tersebut dalam ayat (1) dan (2) pasal ini diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atau Menteri Agama atas nama Presiden.

 

    (4) Kedudukan, penghasilan serta lain-lain hal yang penting bagi Hakim Agama/Hakim Agama Kehormatan diatur oleh Menteri Agama.

 

Pasal 4

 

    (1) Sebelum melakukan jabatannya, hakim, panitera, panitera pengganti dan Jurusita pada Pengadilan Agama tersebut dalam pasal 31 dan pasal 37 Undang-Undang ini mengucapkan sumpah.

 

    (2) Ketua Pengadilan Tinggi Agama mengucapkan sumpah dihadapan Ketua Mahkamah Agung.

 

    (3) Hakim, Panitera, Panitera Pengganti pada Pengadilan Tinggi Agama serta Ketua Pengadilan Agama mengucapkan sumpah dihadapan Ketua Pengadilan Tinggi Agama.

 

    (4) Hakim, Panitera, Panitera Pengganti dan juru sita pada Pengadilan Agama mengucapkan sumpah dihadapan Ketua Pengadilan Agama.

 

    (5) Bunyi sumpah bagi para Hakim, Panitera, Panitera Pengganti dan Jurusita seperti tercantum dalam pasal 29 Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

 

Pasal 5

 

    (1) Kepada Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama, Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Agama diberi tunjangan kehormatan dan tunjangan representasi disamping gaji, tunjangan-tunjangan dan penghasilan lainnya sebagai pegawai negeri.

 

    (2) Kepada Ketua, Wakil Ketua dan Hakam Pengadilan Tinggi Agama, Ketua Wakil Ketua Pengadilan Agama diberi rumah dan Kenderaan dinas.

 

    (3) Pelaksanaan Ketentuan-Ketentuan tersebut dalam ayat (1) dan (2) pasal ini ditetapkan oleh MENTERI AGAMA dengan persetujuan MENTERI KEUANGAN.

 

Pasal 6

 

Hakim Agama wajib menggali dan menentukan nilai-nilai hukum Agama yang murni dan selanjutnya dilaksanakan dalam kehidupan hukum masyarakat Indonesia, sebagai pengayoman dan sebagai jalan penyelesaian yang benar dan adil.

 

Pasal 7

 

Hakim Agama tidak boleh merangkap jabatan sebagai berikut :

    a. Penasehat Hukum.

    b. Panitera atau Jurusita.

    c. Lain-lain Jabatan yang bersangkut-paut dengan suatu perkara yang sedang atau akan diadili olehnya atau oleh Pengadilan Agama yang dia menjabat sebagai Hakim.

 

Pasal 8

 

Hakim-hakim pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena :

    a. Ternyata tidak cakap.

    b. Sakit jasmani maupun rohani yang terus-menerus sehingga tidak memungkinkan dia untuk melaksanakan kewajibannya dengan baik.

    c. Permintaan sendiri.

    d. Telah berumur 60 (enampuluh) tahun.

 

Pasal 9

 

    (1) Dapat diberhentikan sementara dari jabatannya :

      a. Apabila seorang hakim pada Pengadilan Agama atau Pengadilan Tinggi Agama ditahan atas diperintahkan untuk dimasukkan dalam rumah sakit Jiwa.

      b. Apabila hakim tersebut huruf a tersangkut dalam suatu perkara meski pun tidak dikenakan tahanan, atau setelah diadakan penyelidikan secara administratif timbul hal-hal yang tidak membenarkan dia melanjutkan tugasnya sebagai Hakim. Pemberhentian itu dilakukan oleh MENTERI AGAMA dengan pertimbangan Ketua Mahkamah Agung.

      c. Apabila yang tersebut huruf b itu mengenai hakim-hakim pada Mahkamah Agung bidang Agama, maka pemberhentian sementara dilakukan oleh PRESIDEN atas pertimbangan Ketua Mahkamah Agung dan MENTERI AGAMA.

    (2) Pemberhentian sementara hanya dapat dicabut oleh MENTERI AGAMA bagi para hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, dan oleh PRESIDEN bagi hakim-hakim Mahkamah Agung Bidang Agama, setelah mendapat pertimbangan dari Ketua Mahkamah Agung dan MENTERI AGAMA.

 

Pasal 10

 

    (1) Hakim-hakim pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama hanya dapat dipecat dari jabatannya apabila :

      a. Ia dijatuhi pidana karena bersalah melakukan kejahatan.

      b. Ia melakukan perbuatan yang tercela.

      c. Ia terus-menerus melalaikan kewajibannya dalam menjalankan pekerjaan nya.

      d. Ia melakukan rangkapan jabatan seperti dalam pasal 7.

      e. Ia memberi nasehat atau pertolongan yang bersifat memihak kepada yg berkepentingan dalam perkara yang diperiksa atau dikirakan akan di periksa.

    (2) Pemecatan tersebut dalam ayat (1) pasal ini dilakukan atas usul dan per timbangan dari Mahkamah Agung setelah yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri.

 

Pasal 11

 

Hakim yang mempunyai hubungan keluarga sedarah sampai derajat ketiga atau semenda dengan Ketua, salah seorang Hakim Anggota, Panitera, Panitera pengganti atau Penasehat Hukum, tidak boleh bersidang bersama-sama dan dia wajib mengundur diri dari pemeriksaan itu.

 

Pasal 12

 

Seorang Hakim tidak boleh memeriksa perkara yang baik langsung maupun tidak langsung mengenai dirinya sendiri atau salah seorang dari keluarganya, sedarah sampai derajat ketiga maupun semenda, dan harus mengundurkan diri dari pemeriksaan itu.

 

Pasal 13

 

Tidak seorang hakimpun diperkenankan membebaskan diri dari tugasnya untuk memeriksa sesuatu perkara kecuali bila diperolehkan oleh ketentuan undang-undang.

 

Pasal 14

 

    (1) Setelah putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum yang tetap, hakim wajib mengawasi pelaksanaan putusan itu.

 

    (2) Untuk melaksanakan pengawasan tersebut dalam ayat (1) pasal ini, hakim berwenang memasuki segala tepat yang digunakan untuk melaksanakan putusan Pengadilan

 

Pasal 15

 

Ketua Pengadilan Agama dan Ketua Pengadilan Tinggi Agama mengawasi pekerjaan Panitera dan Panitera Pengganti.

 

 

BAB III

PENGADILAN AGAMA

Pasal 16

 

    (1) Pengadilan Agama dibentuk oleh MENTERI AGAMA.

 

    (2) Daerah Hukum Pengadilan Agama pada umumnya meliputi satu daerah tingkat dua.

 

Pasal 17

 

    (1) Pada Pengadilan Agama ada seorang Ketua, Seorang Wakil dan beberapa o rang Hakim Agama dan Hakim Agama Kehormatan dibantu oleh seorang Panitera dan beberapa Panitera Pengganti.

 

    (2) Pembagian tugas antara para Hakim tersebut ayat (1) pasal ini diatur oleh Ketua Pengadilan Agama.

 

Pasal 18

 

Untuk dapat diangkat sebagai Hakim Pengadilan Agama, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Warga Negara Indonesia.

b. Beragama Islam, mengamalkan syari 'atnya, bertaqwa, berakhlak baik, jujur dan adil.

c. Berjiwa dan mengamalkan Pancasila.

d. Sarjana Syari‘ah/Sarjana Hukum atau ahli Syari'ah yang cakap dan berpengalaman.

e. Berumur serendah-rendahnya 25 tahun.

 

Pasal 19

 

Untuk dapat diangkat sebagai Panitera atau Panitera Pengganti pada pengadilan Agama harus dipenuhi syarat-syarat sebagai. berikut :

a. Warga Negara Indonesia.

b. Beragama Islam, mengamalkan syari 'atnya, bertaqwa , berakhlak baik, jujur dan adil.

c. Berjiwa dan mengamalkan Pancasila.

d. Serendah-rendahnya mempunyai ijazah Sekolah Lanjutan Atas.

e. Berumur serendah-rendahnya 21 tahun.

 

Pasal 20

 

    (1) Pengadilan Agama memeriksa dan memutus sekurang-kurangnya dengan 3 (tiga) orang hakim.

 

    (2)  Ketua Pengadilan Agama menunjuk salah seorang dari para Hakim tersebut dalam ayat (1) menjadi Ketua Sidang, sedang lainnya sebagai anggota.

 

Pasal 21

 

    (1) Pengadilan Agama memeriksa dan memutus dalam tingkat pertama semua perkara tersebut dalam pasal 2 Undang-Undang ini.

 

    (2) Ketetapan, keterangan, pertimbangan, izin, maupun nasehat-nasehat yang oleh Undang-Undang harus diberikan oleh Pengadilan Agama dilakukan oleh Ketua Pengadilan Agama.

 

Pasal 22

 

    (1) Pengadilan Agama bersidang ditempat kedudukannya, kecuali bila pengadilan Agama memandang perlu sidang dapat diadakan diluar tempat kedudukan dalam daerah hukumnya.

 

    (2) Ketua, Hakim dan Panitera Pengadilan Agama harus bertempat tinggal di tempat kedudukan Pengadilan Agama, kecuali dalam keadaan memaksa, harus mendapat persetujuan MENTERI AGAMA.

 

 

BAB IV

PENGADILAN TINGGI AGAMA

Pasal 23

 

    (1) Pengadilan Tinggi Agama dibentuk oleh MENTERI AGAMA.

 

    (2) Daerah Hukum Pengadilan Tinggi Agama meliputi satu atau beberapa daerah tingkat satu.

 

Pasal 24

 

    (1) Pada Pengadilan Tinggi Agama ada seorang ketua, seorang Wakil Ketua dan beberapa orang Hakim Agama, dibantu oleh seorang Panitera dan beberapa orang Panitera Pengganti.

 

    (2) Pembagian tugas antara para Hakim tersebut dalam ayat (1) pasal ini diatur oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama.

 

Pasal 25

 

    (1) Untuk dapat diangkat sebagai Hakim atau Panitera Pengadilan Tinggi harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

      a. Warga negara Indonesia

      b. Beragama Islam, mengamalkan syari 'atnya, bertaqwa, berakhlak baik, jujur, dan adil.

      c. Berjiwa dan mengamalkan Pancasila

      d. Sarjana Syari'ah/Sarjana Hukum atau ahli Syari'ah yang cakap dan berpengalaman.

      e. Berumur serendah-rendahnya 30 (tiga puluh) tahun.

      f. Berpengalaman sedikit-dikitnya 5 (lima) tahun dalam bidang hukum Agama dan pernah menjabat Hakim Pengadilan Agama.

 

    (2) Untuk pengangkatan Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Agama syarat tersebut dalam ayat (1) huruf d diganti dengan syarat "serendah-rendahnya mempunyai ijazah Sarjana Muda atau mempunyai pengetahuan yang sederajad dengan itu".

 

Pasal 26

 

    (1) Pengadilan Tinggi Agama memeriksa dan memutus perkara dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim.

 

    (2) Ketua Tinggi Agama menunjuk salah seorang dari para Hakim tersebut dalam ayat (1) pasal ini menjadi Ketua Sidang, sedang lainnya menjadi anggota.

 

Fehlende Seite (bis Artikel 32 [2])

 

    (2) Apabila panitera berhalangan, diganti oleh Panitera oleh Panitera Pengganti atau pegawai lain yang diserahi untuk mewakili jabatan itu.

 

    (3) Panitera juga berkewajiban mengurus kepaniteraan catatan-catatan, daftar-daftar, surat-surat dan dokumen-dokumen.

 

    (4) Panitera menjabat sebagai Bendaharawan Pengadilan.

 

    (5) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera terikat pada ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang biaya-biaya, upah-upah dan uang jasa pada pengadilan.

 

Pasal 33

 

    (1) Panitera wajib membuat daftar dari semua perkara yang diterima di kepaniteraan.

 

    (2) Dalam daftar itu tiap-tiap perkara diberi nomor urut dan diberi catatan singkat tentang isinya.

 

Pasal 34

 

    (1) Hanya Hakim yang diperbolehkan minta berkas perkara yang disimpan dikepaniteraan untuk dikerjakan dirumah dengan memberikan tanda penerimaan.

 

    (2) Daftar-daftar, catatan-catatan, risalah-risalah. dan berkas-berkas perkara tidak boleh dipindahkan dari kepaniteraan tanpa izin dari Ketua Pengadilan, kecuali bila nyata-nyata diperbolehkan oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundangan.

 

    (3) Panitera berwenang mengeluarkan salinan putusan, kutipan ringkasan dari akta-akta atau putusan-putusan untuk kepentingan para pihak.

 

    (4) Biaya administrasi untuk tiap-tiap surat yang dikeluarkan seperti tersebut dalam ayat (3) pasal ini diatur oleh Menteri Agama.

 

Pasal 35

 

    (1) Biaya perkara, upah, uang jasa dan biaya-biaya lain bagi Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama diatur oleh Menteri Agama.

 

    (2) Panitera menerima dan menyimpan biaya perkara serta biaya-biaya lain yang harus dibayar menurut peraturan dan menyetorkan biaya perkara tersebut pada Kas Negara.

 

Pasal 36

 

    (1) Panitera bertanggung jawab terhadap surat-surat putusan, dokument-dokumen, akta-akta, surat-surat, daftar-daftar, bukti-bukti, uang dan surat-surat berharga yang penyimpanan dan pengurusannya diserahkan kepadanya.

 

    (2) Panitera dapat bertindak sebagai juru sita,

 

 

BAB VI

JURUSITA

 

Pasal 37

 

    (1) Juru sita dan juru sita pengganti adalah pejabat umum.

 

    (2) Juru sita diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama dan jurusita pengganti oleh Ketua Pengadilan Agama yang bersangkutan.

 

Pasal 38

 

    (1) Jurusita mempunyai tugas dalam sidang pengadilan dan melaksanakan semua tugas yang diberikan oleh Ketua sidang.

 

    (2) Tugas jurusita terbatas dalam daerah hukum Pengadilan dimana dia diangkat.

 

    (3) Jurusita juga memberikan pengumuman-pengumuman, melakukan pemberitahuan-pemberitahuan Pengadilan, protes-protes dari para pihak yang berkepentingan, dalam hal-hal dan cara-cara seperti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

 

    (4) Atas perintah Ketua Pengadilan Agama atau Panitera, jurusita melakukan pensitaan.

 

    (5) Ia membuat berita acara yang salinannya diserahkan kepada orang yang disita harta-bendanya.

 

Pasal 39

 

    (1) Jurusita diwajibkan mempunyai daftar pekerjaan.

 

    (2) Dalam memperhitungkan biaya-biaya Pengadilan, upah dan uang jasa, jurusita terikat pada tarif-tarif yang ditetapkan oleh Menteri Agama.

 

 

BAB VII

KETENTUAN PENUTUP

 

Pasal 40

 

    (1) Pelaksanaan Undang-Undang ini ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Agama.

 

    (2) Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka semua peraturan yang mengatur tentang susunan dan kekuasaan badan-badan Peradilan Agama dinyatakan tidak berlaku.

 

Pasal 41

 

Undang-Undang ini mulai berlaku pada hari dan tanggal diundangkan.

 

Diundangkan di Jakarta

Pada tanggal ...

Menteri Sekretaris Negara

Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal ...

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

S0EHART0 (Jenderal TNI)

PENJELASAN ATAS RUU TENTANG SUSUNAN DAN KEKUASAAN

BADAN-BADAN PERADILAN AGAMA

 

 

I. PENJELASAN UMUM

 

1. Undang-Undang tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Peradilan Agama adalah pelaksanaan dari Ketentuan tersebut dalam pasal 12 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, yaitu Undang- Undang No.14 tahun 1970 (LN tahun 1970 no.74).

Sesuai dengan maksud penjelasan umum angka 3 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa Undang-Undang tersebut akan merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan dasar serta azas-azas peradilan serta pedoman bagi lingkungan. Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara, maka Undang-Undang tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Peradilan Agama ini sepenuhnya didasarkan atas prinsip-prinsip yang terkandung dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.

    2. Peradilan Agama di Indonesia yang hingga sekarang ini diatur oleh tiga macam peraturan yang berlainan untuk tiga daerah yang berbeda-beda yaitu :

      a. Peradilan Agama di Jawa Madura diatur dalam Stb.1882 No. 152 jo.Stb.1937 No. 116 dan 610,

      b. Peradilan Agama di Kalimantan Selatan dan Timur diatur dalam Stb.1937 No.638 dan 639.

      c. Peradilan Agama untuk daerah-daerah lainnya diatur dalam P.P. No.45 tahun 1957.

 

dirasakan sangat tidak sesuai dengan perkembangan hukum dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Wewenang yang berlainan antara Peradilan Agama di daerah-daerah diluar Jawa-Madura perlu segera diakhiri.

 

3. Wewenang Peradilan Agama selain menyelesaikan perkara-perkara yang harus diperiksa dan diputus menurut hukum perkawinan sebagaimana telah ditugaskan oleh Undang-Undang No .1 tahun 1974 harus juga menyelesaikan perkara-perkara yang berkenaan dengan hukum keluarga dan hukum waris serta perkara-perkara tentang shadaqah, hibah, wasiat, wakaf, baitulmal dan perkara-perkara perdata lain bagi orang islam yang menurut keyakinan dan kepercayaannya perlu diselesaikan berdasarkan hukum Islam.

 

4. Walaupun Mahkamah Agung bidang Agama disinggung dalam pasal l dan pasal 30 Undang-Undang ini sebagai Pengadilan Negara Tertinggi serta tempat minta kasasi dan peninjauan kembali bagi Peradilan Agama sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Susunan dan Kekuasaanya tidak diatur melainkan diatur dalam Undang-Undang tersendiri

 

5. Untuk menjamin pengabdian petugas Peradilan Agama didalam melaksanakan tugasnya, hal-hal yang menyangkut kedudukan, pangkat gaji dan lain-lain yang dipandang perlu, perlu diatur tersendiri.

6. Untuk menjamin efektivitas pelaksanaan petugas Peradilan Agama, dalam Undang Undang ini diatur tentang jurusita pada Peradilan Agama

7. Undang-Undang ini hanya mengatur Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Peradilan Agama, sedang acara pada Peradilan Agama, diatur dalam Undang-Undang tersendiri.

 

    II. Pasal demi Pasal.

 

Pasal 1

Cukup jelas.

 

Pasal 2

(1) s/d (3) cukup jelas

(4) Fatwa ialah ketetapan yang mempunyai pengaruh dan nilai hukum yang ngikat.

 

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

(1) s/d (4) Cukup jelas.

(5) Adapun bunyi sumpahnya sebagai berikut:

 

"Demi Allah"

 

Saya bersumpah dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tiada memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga.

 

Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tiada sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung, dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian.

 

Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta peraturan-peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia. Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, saksama dan dengan tidak membedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti selayaknya bagi seorang Hakim/Panitera/Panitera Pengganti/Jurusita yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan.

 

 

Pasal 5 s/d Pasal 20

cukup jelas.

 

Pasal 21

      (1) cukup jelas.

    (2). Ketua dapat menyerahkan kekuasaan itu kepada Hakim yang ditunjuknya.

 

Pasal 22

    Untuk mempermudah pelayanan kepada pencari keadilan (justi siabel), dapat diadakan sidang keliling.

 

Pasal 23 s/d pasal 26

cukup jelas.

 

Pasal 27

    (1) cukup jelas.

    (2) Ketua dapat menyerahkan kekuasaan itu kepada Hakim yang ditunjuknya.

 

Pasal 28 s/d Pasal 31

cukup jelas.

 

Pasal 32

    (1) cukup jelas.

    (2) Penggantian tersebut ditetapkan oleh Ketua.

    (3) s/d (5) cukup jelas.

 

Pasal 33 s/d Pasal 35

cukup jelas.

 

Pasal 36

    (1) cukup jelas.

    (2) Apabila jurusita berhalangan, maka Panitera dapat menggantikan jurusita dengan ditunjuk oleh Ketua Pengadilan.

 

Pasal 37 s/d Pasal 41

cukup jelas.

 

 

 

Quelle: Departemen Agama, Laporan Loka Karya Badan Peradilan Agama 17 s/d 21 Januari 1977. Jakarta 1977.