Penjelasan



RENTJANA UNDANG-UNDANG tentang

PERNIKAHAN UMMAT ISLAM.

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

 

Menimbang:

 

a. bahwa hingga kini belum ada Peraturan tentang pernikahan Ummat Islam jang ditentukan dalam Undang-undang;

b. bahwa Undang-undang No. 22/1946 jang telah ditetapkan berlakunja diseluruh Indonesia dengan Undang-Undang No. 32 tahun l954, hanja mengatur tentang pentjatatan, tidak mengatur tentang hukum materiilnja;

c. bahwa perlu adanja peraturan jang mengatur pernikahan Ummat Islam menurut hukum Agama Islam;

 

Mengingat:

 

Pasal 39 ajat l, pasal 43 ajat 1 dan 2 dan pasal 89 Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, dengan persetudjuan Dewan Perwakilan Rakjat,

 

Memutuskan:

 

Menetapkan peraturan sebagai berikut:

 

UNDANG-UNDANG

 

TENTANG PERNIKAHAN UMMAT ISLAM

 

Bab ke-Satu

Ketentuan umum

 

Pasal 1.

 

1) Jang dimaksud dengan pernikahan dalam Undang-undang ini ialah perkawinan jang diatur menurut hukum-hukum jang ditentukan oleh Agama Islam.

2) Jang dimaksud dengan Pengadilan Agama ialah Pengadilan jang mengadili perkara-perkara nikah, talaq, rudju‘ dsb. menurut hukum Agama Islam dan berkedudukan ditempat-tempat dimana ada Pengadilan Negeri;

3) Jang dimaksud dengan Kantor Urusan Agama Ketjamatan, ialah Kantor Pegawai Pentjatat Nikah jang dimaksud dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1946 jo No. 32 tahun 1954 dan berkedudukan diibukota Ketjamatan.

 

 

 

Bagian I.

Tentang batas arti Pernikahan.

 

Pasal 2.

 

Pernikahan ialah satu ikatan lahir batin jang diperintahkan oleh Agama antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, untuk memenuhi hadjat hidup bersama dan berumah tangga serta memperoleh keturunan jang sah dengan sjarat-sjarat jang ditentukan.

 

 

Bagian II.

Tentang rukun-rukun pernikahan dan sjarat-sjaratnja.

 

Pasal 3

 

Untuk melaksanakan pernikahan harus terdapat:

a. bakal suami,

b. bakal isteri,

c. wali,

d. sekurang-kurangnja dua orang saksi,

e. idjab-kabul.

 

Pasal 4.

 

1) Untuk dapat melaksanakan pernikahan seorang perempuan harus telah berusia lima belas tahun, sedang seorang laki-laki harus telah mentjapai umur delapan belas tahun.

2) djikalau umur mereka jang akan mendjadi suami-isteri tidak diketahui dengan pasti, maka Pegawai Pentjatat Nikah dapat menentukan apakah mereka sudah tjukup umur atau belum.

3) penjimpangan dari ajat 1 hanjalah diperbolehkan dalam keadaan luar biasa dengan izin tertulis dari Penghulu Kabupaten atau pegawai lain jang ditundjuk olehnja.

 

Pasal 5.

 

1) Pernikahan dilangsungkan dengan persetudjuan kedua belah pihak jang bersangkutan; bakal suami dengan kemauannja jang tidak dipaksa dan bakal isteri dengan izinnja.

2) izin dari bakal isteri jang masih gadis (perawan) ialah dengan perkataan jang njata atau sekurang-kurangnja dengan diam jang tidak membantah, dan izin dari bakal isteri jang sudah djanda harus dengan perkataannja jang njata.

 

 

Pasal 6.

 

1) pernikahan harus dilangsungkan dengan idjab wali atau wakilnja, dan qabul bakal suami atau wakilnja.

2) seorang wali harus sudah baligh, tidak terganggu ingatannja.

3) jang dapat mendjadi wali ialah:

a. ajah, ajahnja ajah dan seterusnja keatas.

b. kerabat laki-laki jang terdekat dalam garis laki-laki dan keturunan ajah, sebagai saudara seibu seajah, saudara seajah, kemudian keturunan laki-laki dari saudara seajah, selandjutnja keturunan laki-laki dari saudara seajah.

c. kerabat laki-laki jang terdekat dalam garis laki-laki dari keturunan kakek, sebagai saudara ajah seajah, kemudian keturunan saudara ajah seibu seajah, selandjutnja keturunan saudara ajah seajah.

d. kerabat laki-laki dari garis laki-laki lurus keatas sebagai saudara kakek dan kemudian keturunaan

 

Pasal 7.

 

1) apabila wali tersebut diatas tidak memenuhi sjarat-sjarat tersebut dalam pasal 6 ajat (2) diatas, atau wali itu bisu dan tuli jang tidak bisa diadjak bitjara dengan isjarat dan tulisan, maka hak mendjadi wali itu beralih kepada wali lain menurut urutan berikutnja.

2) apabila wali-wali tersebut diatas tidak ada sama sekali, hilang tak diketahui tempat tinggalnja, dalam tahanan atau pendjara jang tidak dapat ditemui djauh jang susah dihubungi, sedang kena penjakit pitam atau wali itu mendjadi bakal suami pada hal wali jang sedradjat tidak ada lagi, atau ‘adlal, maka atas permintaan bakal isteri, wali hakim jang ditundjuk oleh Menteri Agama jang bertindak sebagai wali.

3) apabila wali jang hilang itu dikira-kirakan sudah meninggal dunia, maka wali beralih kepada wali lain menurut urutan berikutnja.

 

Pasal 8.

 

1) apabila seorang wali enggan untuk bertindak sebagai wali, maka seorang perempuan dapat minta kepada wali hakim jang mewilajahi tempat tinggal perempuan itu untuk melangsungkan perkawinannja dengan wali hakim.

2) dalam waktu selambat-lambatnja satu bulan setelah permintaan tersebut dalam ajat 1 sampai kepada wali hakim setempat, wali hakim tersebut memberi keputusan setelah memeriksa wali sedang bakal suami isteri atau wakilnja hadlir dihadapannja.

3) terhadap keputusan wali hakim jang bersangkutan dapat dinjatakan keberatannja kepada Pengadilan Agama setempat, selambat-lambatnja dalam dua bulan setelah keputusan itu dilakukan.

 

Pasal 9

 

Seorang saksi harus memenuhi sjarat-sjarat sebagai berikut:

a. telah baligh.

b. tidak terganggu ingatannja.

c. beragama Islam.

 

Pasal 10.

 

1) pihak suami wadjib membajar maskawin (mahar),ialah pemberian dari pihak laki-laki untuk pihak perempuan berupa apa sadja, asal tidak bertentangan dengan hukum agama Islam.

2) maskawin dapat dibajar dengan tunai atau dihutang dengan persetudjuan pihak isteri.

3) apabila adat-kebiasaan setempat menentukan maskawin sedemikian rupa hingga dapat menjukarkan berlangsungnja pernikahan, maka Pemerintah Daerah Kabupaten setelah mendengar pendapat Kantor Urusan Agama setempat, dapat menentukan besarnja maskawin.

 

 

Bagian III.

Tentang pernikahan jang dilarang.

 

Pasal 11.

 

Pernikahan dilarang antara laki-laki dan perempuan jang ada pertalian mahram sebagai berikut:

 

a. antara laki-laki dengan perempuan dalam garis kerabat lurus keatas maupun kebawah.

b. antara seorang laki-laki dengan saudara perempuannja, saudara perempuan ibu, saudara perempuan ajah, saudara perempuan nenek, saudara perempuan kakek serta turunan lurus keatas, anak perempuan saudaranja, tjutju perempuan saudaranja, serta turunannja lurus kebawah

c. karena pertalian semenda (musobaroh) antara seorang laki-laki dengan ibu nenek dan turunan lurus keatas dari isteri, djanda ajah, anak dari isteri jang telah ditjampurinja, djanda dari anak laki-laki. Larangan tersebut meliputi djuga keturunan lurus kebawah dan atau keatas,

d. karena pertalian susuan (radla‘) antara seorang laki-laki dengan ibu radhi‘, antara seorang laki-laki dengan anak radhanja, dan seterusnja larangan tersebut dalam a dan b pasal ini berlaku pula bagi pertalian susuan.

 

Pasal 12.

 

Dilarang melangsungkan pernikahan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan:

a. jang masih dalam ‘iddah.

b. jang masih terikat dengan tali pernikahan jang sah dengan laki-laki lain.

 

Pasal 13.

 

1) dilarang pernikahan antara seorang laki-laki dengan bekas isterinja jang telah dijatuhi tiga talaq.

2) dilarang pernikahan antara seorang laki-laki dengan isteri jang telah di-li‘an-kan.

3) larangan tersebut dalam ajat 1 tidak berlaku kalau bekas isterinja itu sudah kawin lagi dengan laki-laki lain dan kemudian ditjerai sesudah ditjampurinja.

 

Bagian IV.

Tentang pendaftaran dan pengawasan perkawinan.

 

Pasal 14

 

Untuk pendaftaran dan pengawasan pernikahan talaq dan rudju‘ berlaku peraturan jang ditentukan dalam Undang-Undang No. 32/1954 tentang pentjatatan nikah, talaq dan rudju‘, beserta peraturan-peraturan pelaksanaannja.

 

Bagian V.

Tentang upatjara dan tjara melangsungkan pernikahan.

 

Pasal 15.

 

1) Pertunangan dapat dilakukan antara bakal suami dan bakal isteri.

2) Pertunangan tidak memikulkan kewadjiban-kewadjiban jang timbul karena pernikahan antara kedua belah pihak.

3) Sebelum pernikahan jang sah dilangsungkan antara kedua orang jang bertunangan, mereka tidak dibolehkan melakukan kehidupan sematjam suami-isteri.

 

 

Pasal 16.

 

1) Kedua belah pihak dapat mengadakan perdjandjian:

a. sebelum ‘akad nikah,

b. pada waktu idjab qabul,

c. sesudah ‘akad nikah.

2) Perdjandjian jang dimaksud dalam ajat 1 tidak sah kalau bertentangan dengan hukum Agama Islam.

 

Bagian VI.

Tentang pernikahan lebih dari seorang.

 

Pasal 17.

 

1) Untuk dapat melakukan pernikahan dengan isteri jang kedua, dan seterusnja jang ketiga dan keempat, seorang laki-laki harus sanggup berdjandji dengan tertulis akan memenuhi sjarat-sjarat sebagai berikut:

a. ia berlaku adil dalam tindakan-tindakannja terhadap isteri-isterinja.

b. dapat mendjamin keperluan isteri-isterinja.

2) Surat perdjandjian itu harus dikuatkan oleh dua orang saksi jang memenuhi sjarat-sjarat sebagai tersebut dalam pasal 9.

 

 

Pasal 18.

 

Dilarang permaduan antara seorang perempuan dengan saudaranja perempuan seibu atau seajah dan bibinja.

 

Pasal 19.

 

Seorang laki-laki jang sedang mempunjai isteri empat orang, dilarang melakukan pernikahan dengan perempuan jang kelima dan seterusnja dan perkawinan itu tidak sah.

 

Pasal 20.

 

1) Isteri/isteri-isteri berhak mengadukan kepada Pengadilan Agama apabila suami tidak memenuhi sjarat-sjarat tersebut dalam pasal 17.

2) Pengadilan Agama dapat menetapkan atas suami itu suatu keputusan jang dapat mendjamin akan dipenuhinja sjarat-sjarat tersebut.

3) Djika keputusan Pengadilan Agama tidak dipenuhi oleh suami, isteri/isteri-isteri dapat menggunakan haknja untuk menuntut pertjeraian dan berhak menuntu nafkah, kiswah dan ganti kerugian.

 

Pasal 21.

 

1) Pernikahan permaduan dapat ditjegah, djika dibuat perdjandjian tertulis, bahwa laki-laki tidak akan melakukan perkawinan dengan isteri jang kedua dan seterusnja.

2) Perdjandjian tersebut dapat dibatalkan dengan persetudjuan bersama-sama antara kedua suami-isteri dan pembatalan dilakukan dengan tertulis dimuka Pegawai Pentjatat Nikah.

 

Bagian VII.

Tentang pernikahan jang batal.

 

Pasal 22.

 

1) Pengadilan Agama membatalkan pernikahan jang tidak memenuhi sjarat-sjarat tersebut dalam pasal-pasal 5 dan 6 atau melanggar ketentuan jang tersebut dalam pasal 11, 12 dan 13 atas permintaan jang berkepentingan.

2) Pengadilan Agama menentukan tentang anak dan segala hak lain dan akibat pernikahan jang dibatalkan.

 

 

Pasal 23.

 

1) Terhadap keputusan Pengadilan Agama jang dimaksud dalam pasal 22 jang bersangkutan dapat mengadjukan bandingan pada Pengadilan Agama Tinggi (dimaksud Mahkamah Islam Tinggi), sebagai keputusan terachir selambat-lambatnja dua bulan sesudah terima pengaduan.

2) Selama Pengadilan Agama Tinggi belum memberikan keputusan bandingannja, maka berlakulah atas laki-laki dan perempuan jang bersangkutan larangan hidup bersama sebagai suami-isteri.

 

Bab kedua.

Tentang hak dan kewadjiban suami isteri.

 

Bagian I.

Tentang hak dan kewadjiban suami-isteri bersama.

 

Pasal 24.

 

1) Suami-isteri mempunjai tanggung djawab jang tidak terpisah terhadap rumah tangganja dan harus memikul dengan penuh kesabaran keselamatan rumah tangga itu.

2) Suami-isteri mempunjai hak dan kewadjiban jang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam masjarakat.

3) Suami-isteri harus saling tjinta menjintai, setia, bergaul dengan baik serta memberi bantuan lahir batin satu sama lain.

4) Suami-isteri memikul kewadjiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka baik mengenai pertumbuhan djasmani, rochani maupun ketjerdasannja.

5) Suami-isteri wadjib memelihara kehormatan serta menjimpan rahasia rumah tangga.

 

 

 

 

Bagian II.

Tentang kewadjiban suami.

 

Pasal 25.

 

1) Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganja, tetapi mengenai hal-hal jang penting dalam urusan rumah tangga sebaiknja diputuskan oleh suami-isteri bersama.

2) Suami memberikan pendidikan Agama kepada isterinja atau memberi kesempatan beladjar pengetahuan jang berguna dan bermanfaat bagi Agama, Nusa dan Bangsa.

3) Nafkah, kiswah dan tempat kediaman isteri serta biaja rumah tangga dan biaja pendidikan bagi anak-anak ditanggung oleh suami, sesuai dengan kedudukannja.

4) Isteri dapat membebaskan suaminja dari kewadjiban jang tersebut dalam ajat 3.

 

 

Bagian III.

Tentang kewadjiban jang mempunjai isteri lebih dari seorang.

 

Pasal 26.

 

1) Djika suami mempunjai lebih dari seorang isteri, kewadjiban tersebut dalam pasal 25 ajat 3 harus diaturnja sedemikian rupa hingga seimbang dengan besar ketjilnja keluarga jang mendjadi tanggungannja, menurut perdjandjian pada waktu nikah pemaduan akan dilangsungkan

2) Begitupula mengenai giliran, suami wadjib memenuhi perdjandjian pada waktu nikah pemaduan akan dilangsungkan, setelah memenuhi hak giliran bagi isteri jang baru dinikahinja.

3) Apabila suami tidak menetapi djandjinja, maka isteri/isteri-isteri jang merasa diperlakukan tidak adil, dapat mengadukan halnja kepada Pengadilan Agama.

 

Pasal 27.

 

1) Perselisihan tentang djumlah atau besarnja nafkah dan kewadjiban lain-lainnja sebagai tersebut dalam pasal 25 ajat 3 jo. pasal 26 ajat 1 untuk masing-masing isteri dapat dimintakan nasehatnja Pegawai Pentjatat Nikah untuk menetapkannja.

2) Djika nasehat tersebut dalam ajat 1 tidak dapat mendamaikan perselisihan itu, maka isteri jang bersangkutan dapat minta keputusan Pengadilan Agama.

 

Pasal 28.

 

1) Apabila seorang suami jang mempunjai lebih dari seorang isteri hendak bepergian ketempat lain atau pindah karena pekerdjaannja, pentjaharian atau lain-lainnja sedang ia tidak sanggup membawa serta semua isteri-isterinja, maka ia boleh membawa seorang dari isteri-isterinja dengan persetudjuan dari semua isteri.

2) Giliran diadakan menurut waktu jang sudah dimufakati antara pihak-pihak jang bersangkutan kalau suami akan membawa seorang isteri dari isteri-isterinja dalam bepergian ketempat lain atau pindah.

3) Apabila suami tidak menetapi pembahagian giliran menurut permufakatan tersebut dalam ajat 2, isteri jang merasa diperlakukan tidak adil dapat minta bantuan Pegawai Pentjatat Nikah untuk menasihati suaminja.

4) Djika nasehat tersebut dalam ajat 3 tidak diindahkan oleh suami, maka isteri jang bersangkutan dapat mengadukan halnja kepada Pengadilan Agama jang bersangkutan.

 

Bagian IV.

Tentang kewadjiban isteri.

 

Pasal 29.

 

Kewadjiban isteri jang utama adalah berbakti kepada suami didalam batas jang dibenarkan oleh agama Islam.

 

Pasal 30.

 

Isteri menjelenggarakan keperluan sehari-hari serta mengatur rumah tangga sebaik-baiknja.

 

Pasal 31.

 

1) Isteri dapat dianggap nusjus djika ia tidak dengan beralasan jang sah menjangkal kewadjiban-kewadjiban sebagai dimaksud dalam pasal 29.

2) Selama isteri tetap dalam nusjusnja, maka kewadjiban suami terhadap isterinja tersebut dalam pasal 25 ajat 3 tidak berlaku.

3) Kewadjiban itu berlaku kembali sesudah isteri insjaf dan kembali dari sikap nusjusnja.

4) Sikap suami terhadap isteri sebagai tersebut dalam ajat 2 dan 3 harus dibuktikan oleh suami kepada pegawai pentjatat nikah dan kalau perlu pada Pengadilan Agama.

 

Bab ke-tiga.

Tentang harta benda dalam pernikahan .

 

Pasal 32.

 

1) Pada dasarnja tidak ada pertjampuran antara kekajaan isteri dan kekajaan suami karena pernikahan.

2) Kekajaan isteri tetap mendjadi hak milik dari isteri dan dikuasai penuh olehnja, begitu pula kekajaan suami tetap mendjadi hak miliknja dan dikuasai penuh olehnja.

 

 

Pasal 33.

 

1) Untuk membelandjai rumah tangga, suami tidak berhak mempergunakan harta benda isteri.

2) Harta benda isteri jang dipergunakan untuk membelandjai rumah tangga mendjadi hutang dari suami dan apabila pernikahan putus karena sesuatu sebab, maka suami wadjib mengembalikan kepada isterinja, ketjuali djika dibebaskannja.

Pasal 34.

 

Tambahan kekajaan usaha bersama selama pernikahan, mendjadi hak milik bersama antara suami isteri dan apabila pernikahan putus karena sesuatu sebab, dibagi-bagi menurut keseimbangan besar ketjilnja usaha suami-isteri.

 

Pasal 35.

 

Dalam perdjandjian pernikahan kedua belah pihak dapat mengatur tentang harta benda dan kekajaan dalam pernikahan, menjimpang dari pasal 32 sampai 34.

 

Bab ke-empat.

Tentang putusnja pernikahan.

 

Pasal 36.

 

Pernikahan dapat putus karena:

a. kematian,

b. talaq,

c. pelanggaran ta‘lik talak atau perdjandjian pernikahan lainnja,

d. chulu‘

e. akibat sjiqoq,

f. fasach dan

g. hal-hal lain jang ditetapkan oleh agama.

 

Bagian I.

Tentang Kematian

 

Pasal 37.

 

1) Djikalau salah seorang dari antara suami-isteri meninggal dunia, maka pernikahannja putus.

2) Isteri jang kematian suaminja dapat melakukan pernikahan lagi sesudah habis ‘iddahnja sebagai tersebut dalam pasal 54 ajat 1 sub a dan b.

 

Bagian II.

Tentang talaq

 

Pasal 38.

 

1) Pernikahan dapat putus karena talaq jang didjatuhkan oleh suami atas isterinja.

2) Talaq dapat didjatuhkan karena sebab-sebab jang berat ialah:

a. isteri berbuat zina,

b. isteri nusjus,

c. isteri suka mabuk, mendjadi pemadat/pendjudi atau melakukan kedjahatan jang serupa itu, jang mengganggu keamanan rumah tangga,

d. sakit ingatan,

e. isteri dihukum karena kedjahatan dengan hukuman pendjara dua tahun,

f. dan lain-lain sebab jang berat jang tidak dapat memungkinkan mendirikan rumah tangga bersama dengan suami dan teratur.

3) Talaq harus didjatuhkan dengan kesadaran jang sungguh-sungguh dan tidak ada paksaan.

 

Pasal 39.

 

Talaq didjatuhkan dengan lisan dan tulisan oleh suami atau wakilnja, atau dengan tulisan atau isjarat jang dapat dimengerti bagi orang jang tidak bisa bertutur.

 

Pasal 40.

 

1) Djumlah-talaq jang didjatuhkan atas seorang isteri, sebanjak-banjaknja tiga talak.

2) Mendjatuhkan talak sebaiknja satu demi satu.

 

Pasal 41.

 

1) Setelah terdjadi pertjeraian karena talaq jang didjatuhkan oleh suami atas isterinja, dilarang melakukan perhubungan sebagai suami-isteri.

2) Larangan ini ditjabut, kalau suami melakukan rudju‘ kepada bekas isterinja sebagai tersebut dalam pasal 57.

 

Pasal 42.

 

1) Suami jang mendjatuhkan talaq atas isterinja wadjib:

a. memberi mut‘ah jang lajak kepada bekas isterinja, baik berupa benda atau berupa uang.

b. memberi nafakah, kiswah dan tempat kediaman selama bekas isteri itu masih dalam ‘iddah sebagai tersebut dalam pasal 54 ajat 2, ketjuali kepada bekas isteri jang didjatuhkan talak ba‘in dalam keadaan tidak hamil.

c. membajar atau melunasi mahar, apabila belum dibajar atau belum dilunaskan.

d. memberi belandja bagi pemeliharaan-serta belandja bagi pendidikan anak-anaknja menurut batas kesanggupannja dan kadar jang patut sesuai dengan kedudukan suami, sampai anak-anaknja dewasa atau mempunjai penghasilan.

2) Pengadilan Agama dapat menentukan kewadjiban mut‘ah sebagai tersebut dalam ajat 1 dan 2, maka bekas isterinja, atau jang berkepentingan lainnja dapat memadjukan hal ini pada Pengadilan Agama jang bersangkutan.

 

Bagian III.

Tentang pelanggaran ta‘lik Talaq dan perdjandjian nikah jang lain.

 

Pasal 43.

 

1) Pernikahan dapat diputuskan atas permintaan isteri apabila suami melanggar djandji ta‘lik talaq waktu akad nikah atau waktu sesudahnja.

2) Isteri mengadjukan permintaan tersebut dalam ajat 1 pada Pengadilan Agama tempat kediaman dengan mengemukakan alasan-alasanja jang dikuatkan oleh keterangan dua orang saksi jang memenuhi sjarat-sjarat tersebut dalam pasal 9.

 

Pasal 44.

 

Apabila Pengadilan Agama berpendapat bahwa ta‘lik talaq itu telah dilanggar maka Pengadilan Agama mendjatuhkan talaq atas isteri.

 

Bagian IV.

Tentang chulu.

 

Pasal 45.

 

1) Apabila seorang isteri merasa tidak sanggup lagi meneruskan perkawinannja, sedang suami tidak mau mentjeraikannja, ketjuali kalau isteri memberikan iwadl, pertjeraian dapat dilakukan dengan chulu‘.

2) Iwadl ialah pemberian uang atau harta benda tertentu, pengembalian atau pembebasan mahar atau hak-hak isteri atas suami, untuk seluruh atau sebagiannja.

 

Pasal 46.

 

Apabila antara suami-isteri ada persetudjuan, maka isteri dapat mengadjukan permintaannja kepada Pengadilan Agama dengan mengemukakan alasan-alasannja.

 

Pasal 47.

 

Isteri jang diputuskan pernikahannja dengan chulu‘, tidak dapat dirudjuk kembali, ketjuali dengan nikah baru.

 

Bagian V.

Tentang sjiqoq

 

Pasal 48.

 

1) Pernikahan dapat diputuskan dengan sebab sjiqoq atas permintaan isteri.

2) Isteri mengadjukan permintaan tersebut kepada Pengadilan Agama dengan mengadjukan alasan-alasan jang menjebabkan pertentangan jang tidak bisa didamaikan.

 

 

Pasal 49.

 

1) Pengadilan Agama setelah membenarkan adanja sjiqoq, mengangkat dua orang hakam, seorang dari pihak isteri dan seorang dan pihak suami dibawah pengawasan Pengadilan Agama.

2) Tugas kedua hakam tersebut ialah mendamaikan kedua belah pihak.

3) Apabila kedua belah pihak tidak dapat mengadjukannja masing-masing atau kedua hakam tersebut dalam ajat 1 tidak dapat mendamaikan kedua belah pihak, maka Hakim Pengadilan Agama mengangkat dua orang jang adil untuk mendjadi hakam bagi kedua belah pihak.

4) Hakam jang diangkat menurut ajat 3 tersebut dapat mendjatuhkan talaq atau mendamaikan kedua suami-isteri, jang kemudian disahkan atau diberi keputusan oleh Hakim Pengadilan Agama.

 

Pasal 50.

 

Talaq jang didjatuhkan atas isteri dengan sebab sjiqaq hanja satu talaq.

 

Bagian VI.

Tentang fasach.

 

Pasal 51.

 

Seorang isteri berhak minta kepada Hakim Pengadilan Agama supaja diputuskan pernikahannja disebabkan hal-hal tersebut dibawah ini:

a. karena suami sakit gila jang tidak dapat diharapkan baiknja.

b. karena suami menderita sakit jang dapat membahajakan kesehatan isteri atau keturunannja.

c. karena suami tidak dapat melakukan hasrat kelamin

d. karena suami miskin, tidak sanggup memberi nafkah, kiswah dan lain-lain kewadjiban atasnja.

 

Pasal 52.

 

1) Isteri jang pernikahannja diputuskan dengan djalan fasach tidak dapat dirudju‘, ketjuali dengan pernikahan baru.

2) Pernikahan jang diputus dengan djalan fasach, tidak berkurang djumlah talaqnja.

 

Bab ke-lima.

Tentang ‘iddah.

 

Pasal 53.

 

Bagi seorang isteri jang telah putus pernikahannja berlaku waktu ‘iddah ketjuali bagi isteri jang ditjerai diwaktu suami hidup belum ditjampuri.

 

Pasal 54.

 

1) ‘Iddah seorang isteri jang telah putus perkawinannja karena kematian suami:

a. apabila sedang hamil maka sampai melahirkan kandungannja.

b. apabila sedang tidak hamil dalam empat bulan sepuluh hari, terhitung dari wafatnja suami.

2) ‘Iddah seorang isteri jang putus perkawinaanja bukan karena kematian suami:

a. apabila isteri belum pernah ditjampuri, maka tidak ada ‘iddah baginja.

b. apabila sudah pernah ditjampuri, sudah pernah haidl dan tidak mengandung, selama tiga kuru‘.

c. apabila sudah pernah ditjampuri, belum pernah haidl dan tidak mengandung, tiga bulan.

d. apabila pernah haidl, pernah ditjampuri, maka ‘iddah tiga bulan, sesudah lewat batas perkiraan masa hamil jang biasa ialah sembilan bulan.

 

 

Pasal 55.

 

Selama waktu ‘iddah bagi isteri jang ditalaq radja‘i berlaku ketentuan-ketentuan sebagai be- rikut:

a. ia dapat dirudju‘.

b. selama rudju‘ belum dilakukan ia tidak boleh ditjampuri.

c. ia tidak melakukan pernikahan baru, dan

d. ia masih berhak atas nafkah, kiswah dan tempat kediaman dan lain-lain hak sebagai isteri jang belum ditalaq.

 

Pasal 56.

 

1) Seorang perempuan jang sudah habis ‘iddahnja boleh melakukan pernikahan baru baik dengan lelaki lain maupun bekas suaminja dengan memenuhi sjarat-sjarat dan tjara pernikahan jang lazim.

2) Perempuan jang tidak ber‘iddah sebagai tersebut dalam pasal 53 dapat melangsungkan pernikahan mulai saat sesudah putus pernikahannja.

 

Bab ke-enam.

Tentang rudju‘

 

Pasal 57.

 

1) Rudju‘ adalah hak seorang lelaki untuk kembali memperbaiki kehidupan suami-isteri dengan bekas isterinja jang telah didjatuhi talaq satu atau dua dengan tidak perlu melakukan pernikahan baru

2) rudju‘ dilakukan dengan sjarat-sjarat sebagai berikut:

a.  isterinja masih dalam waktu ‘iddah sebagai termaksud dalam pasal 53.

b. diikrarkan oleh bekas suami atau wakilnja kepada bekas isterinja sedapat mungkin dihadapan dua orang saksi.

 

 

Pasal 58

 

Laki-laki dilarang melakukan rudju‘ kepada bekas isterinja, apabila:

a. bekas isterinja ditjeraikan dengan djalan lain daripada talaq.

b. bekas isterinja sudah ditalak tiga.

c. bekas isteri ditalaqnja sebelum ditjampuri.

 

Pasal 59.

 

Apabila bekas isteri menjatakan keberatan atas rudjuk, ia dapat mengadjukan hal itu kepada Pengadilan Agama.

 

Bab ke-tudjuh.

Tentang akibatnja putusnja pernikahan.

 

Pasal 60.

 

1) Apabila sesuatu pernikahan mendjadi putus atau karena sesuatu hal dibatalkan dan pihak bekas suami-isteri atau keluarganja berebut memelihara anak jang lahir dalam pernikahan itu, maka atas permintaan jang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memberikan keputusan kepada siapa anak itu diserahkan.

2) Setelah mendengar dari kedua belah pihak, Pengadilan Agama menjerahkan anak itu kepada pihak jang dapat mebawa kemaslahatan anak.

3) Ajah memikul biaja untuk memelihara serta mendidik anak-anak sekurang-kurangnja sampai anak-anak berumur 18 tahun.

4) Pengadilan Agama dengan mengingat kemampuan ajahnja atau wakilnja dapat menetapkan djumlah biaja untuk memelihara dan mendidik anak-anak tersebut apabila anak-anak tetap tinggal pada ibunja.

 

 

Pasal 61.

 

1) Apabila sesuatu pernikahan terputus, atau karena sesuatu sebab dibatalkan, sedang selama pernikahan itu terdapat harta benda, maka harta benda itu dibagi sebagai berikut:

a. harta benda jang asal dari isteri kembali kepada isteri.

b. harta benda jang asal dari suami kembali kepada suami

c. harta benda jang diperoleh selama pernikahan dibagi antara suami isteri dengan mengindahkan tjara-tjara pembagian menurut adat istiadat setempat, asal adat istiadat itu tidak bertentangan dengan agama Islam.

2) apabila selama pernikahan itu terdapat hutang, sedang hutang itu ternjata digunakan untuk membiajai rumah tangga dan pendidikan anak-anak, maka hutang seluruhnja ditanggung oleh suami.

 

Bab ke-delapan.

Tentang aturan hukuman.

 

Pasal 62.

 

1) Seorang laki-laki atau seorang perempuan jang melakukan pernikahan atau siapapun jang meng-‘aqadkan pernikahan, sedang ia mengetahui bahwa pasal-pasal 4, 5, 6, 11, 12, 13, 17, 18 dan 19 dilanggar, dan barang siapa dengan sengadja melanggar ketentuan jang tersebut dalam pasal 41 ajat 1, 47, 52 ajat 1 , 55 ajat c dan 58 dapat dihukum pendjara selama-lamanja 9 bulan.

2) Hal jang dapat dikenakan hukuman menurut ajat 1 dianggap sebagai kedjahatan.

 

 

 

Pasal 63.

 

Pegawai Pentjatat Nikah dapat dihukum djabatan:

a. kalau ia mendaftarkan suatu pernikahan jang tidak memenuhi sjarat-sjarat jang tersebut dalam pasal 4, 5, 6, 7 dan 8 pada hal ia mengetahui atau seharusnja mengetahui akan terdjadinja kesalahan itu.

b. kalau ia melanggar jang tersebut dalam pasal 11, 12, 13, 17, 18 dan 19, pada hal ia mengetahui atau seharusnja mengetahui akan terdjadinja pelanggaran itu.

c. kalau ia mendaftarkan suatu talaq, atau talak chulu‘ ,atau rudju‘ jang tidak memenuhi sjarat jang dimaksud dalan pasal 39, 53, 57 dan 58, pada hal ia mengetahui atau seharusnja mengetahui akan terdjadinja kesalahan itu.

d. kalau ia melanggar ketentuan jang tersebut dalam pasal 39, pada hal ia mengetahui atau seharusnja mengetahui akan terdjadinja pelanggaran itu.

 

Pasal 64.

 

Pegawai Pentjatat Nikah dapat dihukum hukuman pendjara selama-lamanja tiga tahun, djika ternjanta dalam melakukan kesalahan atau pelanggaran jang tersebut dalam pasal 63 ia menerima suapan atau melakukan ketjurangan.

 

Pasal 65.

 

Barang siapa dengan sengadja memberikan keterangan palsu tentang ajarat-ajarat jang dimaksud dalam pasal 4, 5, 6, 9, 17, 39, 53, 57 dan 56 dan tentang pelanggaran terhadap pasal 11, 12, 13, 17, 18 dan 19, dapat dihukum pendjara selama-lamanja satu tahun.

 

Pasal 66.

 

Hukuman pendjara selama-lamanja satu tahun dapat didjatuhkan atas laki-laki dan perempuan jang pernikahannja:

a. terbukti dimaksud mempunjai batas waktu jang tertentu mempunjai sjarat jang bertentangan dengan maksud pernikahan sebagai tersebut dalam pasal 2.

b. terbukti bahwa pernikahan itu "nikah-tjinta-buta" jang dimaksud semata-mata untuk membuka djalan bagi bekas suami supaja dapat kembali pada perempuan jang melakukan pernikahan itu, jang sudah di talaq tiga kali oleh bekas suaminja.

c. terbukti bahwa pernikahan itu "nikah selir" atau serupa itu, dimana hak dan deradjat perempuan didalam pernikahan itu tidak lajak dan tidak sempurna sebagai isteri.

 

Pasal 67.

 

Laki-laki dan perempuan jang hidup sebagai suami-isteri dengan tidak terlebih dahulu melangsungkan pernikahan dapat dihukum pendjara selama-lamanja lima tahun.

 

 

Bab ke-sembilan.

Tentang peraturan peralihan.

 

Pasal 68.

 

Segala pernikahan, pertjeraian dan rudju‘ jang sudah dilangsungkan menurut peraturan lama sebelum Undang-Undang ini berlaku adalah sah.

 

Pasal penutup.

 

1) Undang-Undang ini disebut "UNDANG-UNDANG PERNIKAHAN UMMAT Islam", dan mulai berlaku pada hari diundangkan.

2) Pelaksanaan Undang-Undang ini ditetapkan oleh Menteri Agama.

 

 

Agar setiap orang dapat mengetahuinja, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara.

 

 

Disahkan di Djakarta

Pada tanggal..........

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

 

 

 

Menteri Agama,

 

 

 

 

 

 

Diundangkan,

Pada tanggal .....

Menteri Kehakiman,

 

 

MEMORI PENDJELASAN ATAS

UNDANG-UNDANG NO ....TAHUN ....

TENTANG PERNIKAHAN UMMAT ISLAM

 

Umum:

 

Sudah lama perkembangan masjarakat di Indonesia menginginkan adanja suatu Undang-Undang tentang pernikahan Ummat Islam, jang mengatur materi hukum daripada pernikahan.

 

Materi hukum pernikahan bagi Ummat Islam belum pernah disalurkan didalam bentuk kodifikasi, akan tetapi masih merupakan sebagian dari hukum jang tidak tertulis "ongeschreven recht", terdapat didalam ajat al-Qurän, Hadits dan Kitab Fiqh jang tidak mudah dapat diketemukan atau sekalipun dapat diketahui sumber-sumbernja tersebut, masih sukar untuk difahamkannja. Lagi pula para ahli hukum Fiqh mengenai setiap soal tertentu tidak selamanja sama pendapatnja, baik dalam segi dasar pandangan maupun pelaksanaannja, sehingga kadang-kadang terasa tidak adanja kepastian hukum.

 

Dalam pada itu adalah suatu kenjataan jang menjedihkan, bahwasanja pelaksanaan hidup perkawinan dikalangen masjarakat jang beragama Islam dalam kenjataan sangat mengetjewakan, dimana hak dan wewenang jang diberikan oleh agama jang sutji banjak disalahgunakan atau timbulnja pertjampuran adat kebiasaan jang djauh menjimpang dari adjaran Agama Islam.

 

Dahulu sebelum Kemerdekaan Negara Republik Indonesia telah ada beberapa peraturan tentang pendaftaran pernikahan Ummat Islam jang berlaku bagi perbagai daerah. Akan tetapi peraturan itu adalah sekedar mengenai administrasi pentjatatan nikah, talaq dan rudju‘ sadja, jakni mengatur sebagian hukum formil daripada pernikahan, dengan tidak mempengaruhi segi hukum materinja

 

Peraturan-peraturan itu ialah:

 

1) "Huwelijksordonnantie Java en Madura", termuat dalam Stbl. 1929 No. 348 jo Stbl. 1931 No. 467, berlaku untuk Djawa dan Madura, ketjuali daerah Surakarta dan Djokdjakarta.

2) "Vorstenlandsche Huwelijksordonnantie", termuat dalam Stbl. l933 No. 98, jang hanja berlaku bagi daerah Surakarta dan Djokdjakarta.

3) "Huwelijksordonnantie Buitengewesten", termuat dalam Stbl. 1932 No. 482, jang berlaku didaerah-daerah luar Djawa dan Madura.

 

Setelah Kemerdekaan Negara Republik Indonesia, maka dengan mentjabut "Huwelijksordonnantie Java en Madura" dan "Vorstenlandsche Huwelijksordonnantie", maka pada tanggal 21 Nopember 1946 ditetapkan Undang-Undang No. 22 tahun 1946 tentang pentjatatan nikah, talaq dan rudju‘ jang berlaku untuk Djawa dan Madura. Undang-undang ini semula dimaksudkan untuk dilakukan bagi seluruh Indonesia, akantetapi keadaan pada waktu diundankan belum mengizinkan, maka berlakunja Undang-undang tersebut diluar Djawa dan Madura ditentukan dengan Undang-undang lain kemudian, jakni baru dilaksanakan pada tanggal Nopember 1954 dengan Undang-undang No. 32 tahun 1954, termuat dalam Lembaran Negara No. 98 th 1954.

 

Berdasarkan Undang-undang Dasar Sementara R. I. pada pasal 43 jang menetapkan dasar Negara ke-Tuhanan Jang Maka Esa dan pasal 39 jang mendjamin bagi keluarga akan hak perlindungan oleh masjarakat dan Negara, maka sejogjanja disusun peraturan tentang pernikahan bagi Ummat Islam jang sesuai dengan hukum Agamanja dan sedjiwa dengan Undang-Undang Dasar kita, mendjamin hak azasi kemanusiaan jang harus dimiliki oleh setiap warga negara lelaki atau perempuan. Undang-Undang ini adalah memuat hak-hak itu sepenuhnja, jang memang sudah diperoleh djaminannja dalam Hukum Islam.

 

Maksud:

 

Sudah dimaklumi bahwa jang dimaksudkan dengan hukum pernikahan ialah segala sesuatu jang terdjadi karena hubungan jang sah antara lelaki dengan perempuan, baik mengenai perkawinan pertjeraian, dan rudju‘, maupun tentang hak dan kewadjiban jang timbul karenanja, seperti soal anak, pengakuan dan penolakan, soal perbelandjaan keluarga dan rumah tangga, soal harta benda termasuk soal waris-pusaka.

 

Dengan tidak mengurangi arti serta pentingnja segi-segi jang luas dalam pernikahan itu, maka Undang-undang ini hanjalah mengatur soal2 pernikahan, pertjeraian dan rudju‘, hak dan kewadjiban suami isteri dan sedikit tentang harta benda dalam perkawinan, mengingat bahwa soal-soal itu merupakan pokok pangkal dari segi-segi lainnja.

 

Untuk menjusun suatu peraturan mengenai seluruh segi dalam perkawinan sebagai tersebut diatas, bukan sadja membutuhkan penjelidikan jang sangat lama dan minta waktu tidak sedikit, akan tetapi djuga mengumpulkan semuanja itu didalam suatu Undang-undang adalah merupakan suatu peraturan jang pandjang sekali.

 

Sesuai dengan tuntutan masjarakat jang mendesak agar soal-soal azasi mengenai pernikahan, pertjeraian dan rudju‘ segera diatur, maka disusunlah Undang-undang ini.

 

Dilihat dari batas bidang jang diatur, maka Undang-undang ini dimaksudkan untuk:

1) mendjamin kepastian hukum dalam pernikahan, pertjeraian dan rudju‘ jang berdasarkan hukum Agama Islam dan mengadakan antjaman hukuman bagi pelanggaran atasnja.

2) memberikan kesempatan berkembangnja adat kebiasaan jang baik jang tumbuh dan hidup dalam masjarakat, sesuai dengan peri kemanusiaan dan tuntutan kemadjuan zaman dan dengan demikian menghapuskan praktik-praktik jang tidak baik jang bertentangan dengan Agama Islam jang sutji selama ini.

 

Isi:

 

Undang-undang ini pada pokoknja mengatur segala sesuatu jang berhubungan dengan pernikahan dan terdiri atas 9 BAB, jakni:

Bab ke-satu:   Mengenai ketentuan umum dan pernikahan.

Bab ke-dua:   Mengenai hak dan kewadjiban suami-isteri.

Bab ke-tiga:   Mengenai harta benda dalam pernikahan.

Bab ke-empat:  Mengenai putusnja pernikahan.

Bab ke-lima:   Mengenai ‘iddah.

Bab ke-enam:   Mengenai rudju‘.

Bab ke-tudjuh:  Mengenai akibat putusnja pernikahan

Bab ke-delapan:  Mengenai aturan hukuman.

Bab ke-sembilan:  Mengenai aturan peralihan.






Quelle: Loebis, A. B., Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta ca. 1970, S. 143-184.