Penjelasan


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 17 TAHUN 1999 TANGGAL 3 MEI 1999

TENTANG

PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI

 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang :

 

      a. bahwa negara Republik Indonesia menjamin kemerdekaan warga negaranya untuk beribadah menurut agamanya masing-masing;

 

      b. bahwa ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang Islam yang mampu menunaikannya;

 

      c. bahwa upaya penyempurnaan sistem dan manajemen penyelenggaraan ibadah haji perlu terus ditingkatkan agar pelaksanaan ibadah haji berjalan aman, tertib, dan lancar sesuai dengan tuntutan agama;

 

      d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan c perlu dibentuk Undang-undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji;

 

Mengingat :

 

    1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945;

 

    2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/1 998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara;

 

    3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);

 

    4. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3474);

 

    5. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3480);

 

    6. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3481);

 

    7. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3493);

 

    8. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);

 

Dengan Persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

 

MEMUTUSKAN :

 

        Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI.

 

BAB I

KETENTUAN UMUM

 

Pasal 1

 

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :

    1. Warga negara adalah warga negara Republik Indonesia.

 

    2. Pemerintah adalah Pemerintah Republik Indonesia.

 

    3. Ibadah Haji adalah rukun Islam kelima yang merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam yang mampu menunaikannya.

 

    4. Penyelenggaraan ibadah haji adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pembinaan, pelayanan, dan perlindungan pelaksanaan ibadah haji.

 

    5. Calon jemaah haji adalah warga negara yang beragama Islam, memenuhi syarat, dan telah mendaftarkan diri untuk menunaikan ibadah haji sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.

 

    6. Jemaah haji adalah jemaah haji pada musim haji tahun yang bersangkutan.

 

    7. Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang selanjutnya disebut BPIH, adalah sejumlah dana yang harus dibayar oleh calon jemaah haji untuk menunaikan ibadah haji.

 

    8. Pembinaan ibadah haji adalah rangkaian kegiatan yang mencakup penerangan, dan pembimbingan tentang, ibadah haji.

 

    9. Pelayanan kesehatan adalah pemeriksaan, parawatan, dan pemeliharaan kesehatan calon jemaah haji.

 

    10. Paspor haji adalah paspor yang dibenikan kepada calon jemaah haji dalam menunaikan ibadah haji.

 

    11. Akomodasi adalah tempat penginapan atau pengasramaan sebagai menampungan sementara pada waktu jemaah haji di tempat embarkasi dan/atau di tempat debarkasi dan pemondokan selama berada di Arab Saudi.

 

    12. Transportasi adalah pengangkutan jemaah haji mulai dari tempat embarkasi, selama berada di Arab Saudi, dan pemulangan kembali ke tempat embarkasi asal di Indonesia.

 

    13. Musim haji adalah jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah dalam rangka penyelenggaraan ibadah haji.

 

    14. Penyelengaraan Ibadah Haji Khusus adalah penyelenggaraan ibadah haji dengan pelayanan khusus.

 

    15. Ibadah umrah adalah umrah yang dilaksanakan di luar musim haji.

 

    16. Dana Abadi Umat adalah sejumlah dana yang diperoleh dari hasil efesiensi biaya penyelenggaraan ibadah haji dan dari sumber lain.

 

    17. Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggungjawab nya meliputi bidang agama.

 

 

Pasal 2

 

Setiap warga negara yang beragama Islam mempunyai hak untuk menunaikan ibadah haji

 

 

Pasal 3

 

Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dengan menyediakan fasilitas, kemudahan, keamanan, dan kenyamanan yang diperlukan oleh setiap warga negara yang menunaikan ibadah haji.

 

 

BAB II

ASAS DAN TUJUAN

 

Pasal 4

 

Penyelenggaraan ibadah haji berdasarkan asas keadilan memperoleh kesempatan, perlindungan, dan kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

 

Pasal 5

 

Penyelenggaraan ibadah haji bertujuan untuk memberikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan yang sebaik-baiknya melalui sistem dan manajemen penyelenggaraan yang baik agar pelaksanaan ibadah haji dapat berjalan dengan aman, tertib, lancar, dan nyaman sesuai dengan tuntutan agama serta jemaah haji dapat melaksanakan ibadah secara mandiri sehingga diperoleh haji mabrur.

 

 

BAB II

PENGORGANISASIAN

 

Pasal 6

 

    (1) Penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional dan menjadi tanggung jawab pemerintah di bawah koordinasi Menteri.

 

    (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri melakukan koordinasi dan/atau bekerjasama dengan Departemen/Lembaga/Instansi terkait dan pemerintah Arab Saudi.

 

    (3) Penyelenggara ibadah haji adalah Pemerintah dan/atau masyarakat.

 

    (4) Persyaratan penyelenggaraan dan jenis kegiatan penyelenggaraan ibadah haji yang dapat dilaksanakan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan keputusan Menteri.

 

Pasal 7

 

Koordinasi penyelenggaraan ibadah haji dilaksanakan :

 

      a. di tingkat pusat oleh Menteri.

 

      b. di tingkat daerah oleh gubernur/kepala daerah tingkat I untuk tingkat propinsi dan bupati/walikotamadya daerah tingkat II untuk tingkat kabupaten/kotamadya;

 

      c. di Arab Saudi oleh Kepala Perwakilan Republik Indonesia.

 

 

Pasal 8

 

    (1) Menteri dapat membentuk panitia penyelenggara ibadah haji di tingkat Pusat, di tingkat daerah, dan di Arab Saudi sesuai dengan kebutuhan.

 

    (2) Dalam rangka penyelenggaraan ibadah haji, Menteri menunjuk petugas operasional yang menyertai jemaah haji. yang terdiri atas :

 

      a. Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia, yang disingkat TPIHI;

 

      b. Tim Kesehatan Haji Indonesia, yang disingkat TKHI;

 

      c. Tim Pemandu Haji Indonesia yang disingkat TPHI.

 

 

BAB IV

BIAYA PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI

 

Pasal 9

 

    (1) Besarnya BPHI ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

 

    (2) BPHI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk keperluan penyelenggaraan ibadah haji.

 

    (3) Pengadministrasian BPHI diatur dengan Keputusan Menteri.

 

 

Pasal 10

 

    (1) Pembayaran BPIH dilakukan kepada rekening Menteri melalui Bank-bank pemerintah dan/atau bank swasta yang ditunjuk oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan Gubernur Bank Indonesia.

 

 

    (2) Penerimaan Pembayaran BPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan ketentuan kuota yang telah ditetapkan.

 

    (3) Pengembalian BPIH diberikan kepada calon jemaah haji dalam hal :

 

      a. meninggal dunia sebelum berangkat menunaikan ibadah haji;

 

      b. batal keberangkatannya karena alasan kesehatan atau alasan lain yang sah.

 

    (4) Tata cara pengembalian dan jumlah BPIH yang dikembalikan diatur melalui keputusan Menteri.

 

 

Pasal 11

 

    (1) Dalam rangka pengelolaan Dana Abadi Umat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 16 secara lebih berdaya guna dan berhasil guna untuk kemaslahatan umat, Pemerintah membentuk Badan Pengelola Dana Abadi Umat yang diketuai oleh Menteri.

 

    (2) Badan Pengelola Dana Abadi Umat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Dewan Pengawas dan Dewan Pelaksana, yang keanggotannya ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri.

 

    (3) Badan Pengelola Dana Abadi Umat mempunyai tugas pokok :

 

      a. merencanakan, mengorganisasikan, mengelola, dan memanfaatkan dana abadi umat :

 

      b. menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya setiap tahun kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

 

    (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas Badan Dana Abadi Umat ditetapkan oleh Menteri.

 

 

BAB V

PENDAFTARAN

 

Pasal 12

 

    (1) Setiap warga negara yang akan menunaikan ibadah haji diwajibkan untuk mendaftarkan diri kepada instansi yang ditunjuk oleh Menteri.

 

    (2) Tata cara dan persyaratan serta jangka waktu wajib pendaftaran pada setiap musim haji ditetapkan oleh Menteri.

 

 

Pasal 13

 

Pengaturan warga negara diluar negeri yang hendak menunaikan ibadah haji diatur lebih lanjut dengan keputusan Menteri.

 

 

Pasal 14

 

    (1) Dalam rangka pengaturan kuota nasional, Menteri menetapkan kuota untuk setiap propinsi dengan memperhatikan prinsip keadilan dan proporsional.

 

    (2) Gubernur/kepala Daerah tingkat I selaku koordinator rnenetapkan kuota untuk kabupaten/kotamadya

 

    (3) Dalam hal kuota nasional tidak terpenuhi pada hari penutupan pendaftaran, Menteri dapat memperpanjang masa pendaftaran dengan menggunakan kuota bebas secara nasional.

 

 

BAB VI

PEMBINAAN

 

Pasal 15

 

    (1) Menteri berkewajiban menetapkan pola dan tata cara pembinaan calon jemaah haji dan jemaah haji.

 

    (2) Menteri berkewajiban menerbitkan pedoman manasik dan panduan perjalanan ibadah haji.

    (3) Pembinaan dilakukan demi keselamatan, kelancaran, tertertiban ibadah haji tanpa memungut biaya tambahan di luar BPLH yang telah ditetapkan.

 

 

BAB VII

 

KESEHATAN

 

Pasal 16

 

    (1) Pembinaan dan pelayanan kesehatan haji. baik pada Saat persiapan maupun pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji, dilakukan oleh Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggungjawab meliputi kesehatan.

 

    (2) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi bidang kesehatan.

 

 

BAB VIII

KEIMIGRASIAN

 

Pasal 17

 

    (1) Setiap warga negara yang akan menunaikan ibadah haji menggunakan paspor haji yang dikeluarkan oleh Menteri.

 

    (2) Menteri dapat menunjuk pejabat untuk dan/atau atas namanya menandatangani paspor haji.

 

 

BAB IX

 

TRANSPORTA S1

 

Pasal 18

 

Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi bidang perhubungan mengkoordinasikan dan bertanggungjawab terhadap pelaksanaan penyelenggaraan transportasi jemaah haji yang meliputi pemberangkatan dari tempat embarkasi ke Arab Saudi dan pemulangan ke tempat embarkasi asal di Indonesia.

 

 

Pasal 19

 

Pelaksanaan transportasi jemaah haji di Arab Saudi di bawah koordinasi dan tanggung jawab Menteri.

 

 

Pasal 20

 

Penunjukan pelaksana transportasi jemaah haji dilakukan oleh Menteri dengan memperhatikan keselamatan, efesiensi, dan kenyamanan.

 

 

BABX

BARANG BAWAAN

 

Pasal 21

 

    (1) Jemaah haji dapat membawa barang bawaan ke luar negeri dan/atau dari luar negeri sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

 

    (2) Pemeriksaan atas barang bawaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang keuangan.

 

 

BAB XI

AKOMODASI

 

Pasal 22

 

    (1) Menteri berkewajiban menyediakan akomodasi bagi jemaah haji tanpa biaya tambahan di luar BPIH.

 

    (2) Pengadaan akomodasi bagi jemaahhaji, kenyamanan, kemudahan, dan keamanan jemaah haji beserta barang bawaannya.

 

 

BAB XII

PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI KHUSUS

 

Pasal 23

 

    (1) Dalam upaya meningkatkan penyelenggaraan ibadah haji bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan khusus, dapat diselenggarakan pelayanan ibadah haji khusus.

 

    (2) Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus ditetapkan oleh Menteri.

 

 

Pasal 24

 

    (1) Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut :

 

      a. hanya menerima pendaftaran dan melayani calon jemaah haji yang menggunakan paspor haji;

 

      b. menyediakan petugas pembimbing ibadah dan kesehatan ;

 

      c. melapor kepada Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi pada saat datang di Arab Saudi dan pada saat akan kembali ke Indonesia ;

     

      d. memberangkatkan dan memulangkan jemaahnya sesuai dengan ketentuan penyelenggaraan ibadah haji khusus dan perjanjian yang disepakati kedua belah pihak meliputi hak dan kewajiban masing-masing.

 

    (2) Ketentuan tentang penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah diatur lebih lanjut dengan keputusan Menteri.

 

    (3) Penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi administrasi berupa :

 

    a. peringatan ;

     

    b. pencabutan izin penyelenggara ;

     

    c. pencabutan izin usaha.

 

 

BAB XIII

PENYELENGGARAAN PERJALANAN IBADAH UMRAH

 

Pasal 25

 

    (1) Perjalanan ibadah umrah dapat dilakukan secara perseorangan atau rombongan.

 

    (2) Perjalanan ibadah umrah dapat:

      a. diurus sendiri; atau

      b. diuruskan oleh penyelanggara perjalanan ibadah umrah

 

    (3) Penyelanggara perjalanan ibadah umrah adalah masyarakat dan ditetapkan oleh Menteri.

 

 

Pasal 26

 

    (1) Penyelanggara perjalanan ibadah umrah wajib:

      a. menyediakan petugas pembimbing ibadah dan kesehatan;

      b. melapor kepada Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi pada saat datang di Arab Saudi dan pada saat akan kembali ke Indonesia;

      c. memberangkatkan dan memulangkan jemaahnya sesuai dengan ketentuan perjalanan ibadah umrah dan perjanjian yang disepakati kedua belah pihak meliputi hak dan kewajiban masing-masing

 

    (2) Ketentuan tentang penyelanggaraan ibadah umrah diatur lebih lanjut dengan keputusan Menteri.

 

    (3) Penyelanggara perjalanan ibadah umrah yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi administratif berupa:

      a. peringatan;

      b. pencabutan izin penyelanggara;

      c. pencabutan izin usaha.

 

 

BAB XIV

KETENTUAN PIDANA

 

Pasal 27

 

    (1) Barang siapa yang dengan sengaja bertindak sebagai penerima pembayaran BPHI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan! atau bertindak penerima pendaftaran calon haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), padahal dia tidak berhak untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau denda paling banyak 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

 

    (2) Barang siapa yang dengan sengaja bertindak sebagai penyelenggara perjalanan ibadah umrah dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan jemaah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3), padahal dia tidak berhak untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

 

 

Pasal 28

 

    (1) Penyelenggara ibadah haji khusus yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000, 00 (satu miliar rupiah).

 

    (2) Penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

 

 

BAB XV

KETENTUAN PERALIHAN

 

Pasal 29

 

    (1) Hal-hal yang belum diatur dalam undang-undang ini akan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan lainnya.

 

    (2) Dengan berlakunya undang-undang ini, segala ketentuan mengenai penyelenggaraan ibadah haji dan penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah yang bertentangan dengan undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku.

 

    (3) Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, Ordonansi Haji (Pelgrims Ordonnantie Staatsblad Tahun 1992 Nomor 698) termasuk segala perubahan dan tambahannya dinyatakan tidak berlaku.

 

 

BAB XVI

KETENTUAN PENUTUP

 

Pasal 30

 

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

 

 

Diundangkan Pada tanggal

di : JAKARTA : 3 MEI 1999

 

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA

 

ttd.

 

AKBAR TANDJUNG

 

Ditetapkan di  :  JAKARTA

Pada tanggal  :  3 MEI 1999

 

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

 

ttd.

 

BACHARUDDJN JUSUF HABIBIE

 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 33

 

PENJELASAN

 ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1999

TANGGAL 3 MAI 1999

TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI

 

I. Umum

 

Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dimanfaatkan oleh umat Islam yang memenuhi kriteria Istitha’ah, antara lain mampu secara materi, fisik dan mental. Bagi bangsa Indonesia, penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional karena di samping menyangkut kesejahteraan lahir-batin jemaah haji, juga menyangkut nama baik dan martabat bangsa Indonesia di luar negeri, khususnya di Arab Saudi. Mengingat pelaksanaannya bersifat massal dan berlangsung dalam jangka waktu yang terbatas, penyelenggaraan ibadah haji memerlukan manajemen yang baik yang agar lebih tertib, aman dan lancar.

 

Peningkatan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan terhadap jemaah haji diupayakan melalui penyempurnaan sistem dan manajemen tersebut dimaksudkan para calon jemaah haji/lebih siap dan mandiri dalam menunaikan ibadah haji sesuai dengan tuntutan agama sehingga diperoleh haji mabrur. Upaya peningkatkan dan penyempurnaan tersebut dilaksanakan dari tahun ke tahun agar tidak terulang kembali kesalahan dan / atau kekurangan yang terjadi pada masa-masa sebelumnya.

 

Untuk tercapainya maksud tersebut, diperlukan suasana yang kondusif bagi warga negara yang melaksanakan ibadah haji. Suasana kondusif tersebut dapat dicapai apabila pihak penyelenggara ibadah haji memberikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan kepada calon jemaah haji. Pembinaan meliputi pembimbingan, penyuluhan, dan penerangan pelayanan meliputi pelayanan administrasi, transportasi, kesehatan, dan akomodasi, perlindungan meliputi perlindungan keselamatan dan keamanan, perlindungan memperoleh kesempatan untuk menunaikan ibadah haji, serta penetapan BPIH yang terjangkau oleh calon jemaah haji. Sehubungan dengan itu, penyelenggara ibadah haji berkewajiban melaksanakan pembinaan, dan perlindungan secara baik dengan menyediakan fasilitas dan kemudahan yang diperlukan calon jemaah haji / jemaah haji.

 

Mengingat penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional dan menyangkut martabat serta nama baik bangsa, kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah haji merupakan tanggung jawab Pemerintah Keikutsertaan masyarakat dalam menyelenggarakan ibadah haji merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem dan manajemen penyelenggara ibadah haji.

 

Berkaitan erat dengan penyelenggaraan ibadah haji adalah penyelenggaraan perjalanan ibadah Umrah. Mengingat minat masyarakat untuk menunaikan ibadah haji Umrah cukup besar serta dalam rangka untuk memberikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan kepada calon jemaah Umrah dan / atau jemaah Umrah, maka undang-undang ini juga mengatur penyelenggaraan perjalanan ibadah Umrah.

 

Selama ini peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan perjalanan ibadah haji sebagaimana tercantum dalam Pelgrims Verordening Ordonnantie 1992, termasuk perubahan serta tambahannya dan Pelgrims Verordening tahun 1938, dan berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelenggaraan ibadah haji dan penyelenggaraan perjalanan ibadah haji Umrah antara lain :

 

    1. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1960 tentang penyelenggaraan Urusan Haji;

    2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1964 tentang penyelenggaraan Urusan haji secara Interdepartemental;

    3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1969 tentang penyelenggaraan Urusan Haji Oleh Pemerintah;

    4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 1981 tentang penyelenggaraan urusan haji;

    5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 1983 tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Haji Umrah;

    6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji;

    7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah.

sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi serta kebutuhan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, untuk menjamin kualitas pembinaan, perjalanan, dan perlindungan yang merupakan kebutuhan mendasar dalam penyelenggaraan ibadah haji dan peraturan perundang-undangan yang berlaku selama ini perlu disesuaikan dan ditingkatkan menjadi undang-undang. Dengan demikian, undang-undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sudah saatnya untuk diwujudkan.

 

 

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3832